In-Depth Analysis: Bakamla Bukti Lemahnya KPK Menjerat Aparat Militer

Seperti diprediksi sebelumnya, proses hukum atas kasus suap  pengadaan alat monitoring satelit di Badan Keamanan Laut dipecah menjadi dua proses hukum yang berbeda. Kasus ini diharap dapat menjadi momentum untuk merevisi aturan dan prosedur penuntasan kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI.

Awalnya, kasus ini terungkap lewat Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang digelar KPK pada 14 Desember 2016 lalu. Operasi tersebut menjerat Eko Susilo Hadi, Deputi Bidang Informasi Hukum dan Kerjasama Bakamla yang merangkap Pejabat Pembuat Komitmen. Eko Susilo tertangkap tangan saat menerima uang dari Adami dan Hardy sebesar 100.000 dolar Singapura, 88.500 dolar Amerika, dan 10.00 Euro.

Dalam Berita Acara Pemeriksaan Direktur PT Merial Esa (MEI) Fahmi Darmawansyah membeberkan adanya aliran suap ke sejumlah politisi dan anggota DPR.

Beberapa nama yang disebutkan diantaranya Eva Sundari dari Balitbang PDIP, Bertus Merlas anggota Komisi X DPR dari PKB, Fayakun Andriadi anggota Komisi I dari Golkar, serta kantor Bappenas dan Kementerian Keuangan. Kesaksian Fahmi tersebut menguatkan indikasi bahwa tindakan suap ini bertujuan agar MEI memenangkan proyek yang dianggarkan dalam APBN-P 2016 di DPR.

Selain menghadirkan kesaksian Fahmi Darmawansyah (MEI), pengadilan juga menghadirkan Ali Fahmi alias Fahmi al Habsyi yang disebut-sebut bertindak sebagai perantara bagi para anggota DPR. Belakangan, KPK menetapkan Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla, Nofel Hasan, sebagai tersangka penerima suap sebesar 104.500 dolar Amerika. Satu nama lain yang terungkap sebagai penerima suap adalah Tri Nanda Wicaksono, Kasubag TU Sestama, senilai 120 juta rupiah.

Sementara itu, Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI melakukan pemeriksaan terpisah setelah menetapkan Laksamana Pertama Bambang Udoyo sebagai tersangka dalam kapasitasnya selaku Direktur Data dan Informasi Bakamla merangkap Pejabat Pembuat Komitmen.

Pada kesaksian di sidang dengan terdakwa Adami dan Hardy, Bambang mengaku menerima suap sebesar 105.000 dolar Amerika merupakan arahan Kepala Bakamla, Laksamana Madya Arie Soedowo. Kesaksian ini langsung disangkal oleh Kabakamla. Menurut Arie, ia telah mengingatkan anggotanya agar tidak melakukan pungli dan penyelewengan dana.

Sejauh ini, nilai suap yang telah terungkap berjumlah 309.500 dolar Singapura, 88.500 dolar Amerika, 10.000 Euro dan 120 juta rupiah. Kemudian setidaknya enam persen dari nilai total anggaran sebesar 400 milyar, yakni 24 milyar, dialirkan kepada anggota DPR melalui Ali Fahmi.

Proses hukum yang dipisahkan dalam kasus ini merupakan konskuensi dari UU Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang mewajibkan proses hukum atas anggota TNI dilaksanakan pada peradilan militer yang ditangani oleh polisi militer (POM) atau oditur militer.  Disisi lain, UU 31/97 tersebut bertentangan dengan UU Nomor 30 tahun 200 pasal 42 yang memberikan kewenangan kepada KPK untuk mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum".

Kedua aturan tersebut merupakan lex specialis dalam sistem hukum Indonesia dan memicu perdebatan mengenai aturan mana yang menjadi prioritas ketika anggota TNI terlibat dalam tindak pidana korupsi. 

Meskipun ada mekanisme pengadilan koneksitas antara pengadilan sipil dan militer dalam proses pemeriksaan pengadilan yang dilakukan oleh gabungan unsur hakim dari peradilan umum dan peradilan militer, namun KPK belum pernah menggunakan langkah ini. Dalam kasus suap Bakamla, Ketua KPK Agus Rahardjo hanya mengatakan bahwa KPK akan bekerjasama dengan TNI dalam penanganannya.

Bila pemerintahan Presiden Joko Widodo responsif dalam melihat masalah pecahnya proses penanganan korupsi yang melibatkan anggota TNI, kasus ini dapat menjadi momentum untuk memperbaiki aturan hukum sehingga tak ada lagi aparat negara yang luput dari jerat pemberantasan korupsi.*** (Kes/Agus)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan