Babak Baru Skandal BLBI

Komisi Pemberantasan Korupsi pada 25 April lalu secara mengejutkan menetapkan Syafruddin A. Tumenggung, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sebagai tersangka perkara dugaan korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Syafruddin, saat menjabat sebagai Kepala BPPN, dinilai telah melakukan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian surat keterangan lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim, salah satu debitor BLBI dan pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Dari penerbitan SKL untuk Sjamsul Nursalim, dugaan kerugian keuangan negara mencapai Rp 3,7 triliun. Jumlah ini lebih besar dari kerugian negara dalam skandal proyek pengadaan e-KTP yang berjumlah Rp 2,3 triliun.

Penetapan Syafruddin sebagai tersangka korupsi BLBI oleh KPK layak mendapat apresiasi sekaligus menjadi babak baru bagi penyelesaian perkara BLBI yang lebih dari 10 tahun ibarat "benang kusut" dan penuh ketidakpastian. Korupsi BLBI merupakan salah satu skandal korupsi terbesar di negeri ini. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2000 menyebutkan, dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, sebanyak Rp 138,4 triliun dinyatakan merugikan negara. Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan terhadap 42 bank penerima BLBI sebesar Rp 106 triliun, ditemukan penyimpangan Rp 54,5 triliun. Sebanyak Rp 53,4 triliun bahkan merupakan penyimpangan yang terindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan.

Sebelum ditangani KPK, proses penyelesaian perkara BLBI selalu diwarnai peristiwa yang kontroversial, dari pembebasan dan pengampunan (release and discharge), pemberian SKL kepada debitor BLBI, penghentian penyelidikan dan penyidikan, kaburnya pelaku korupsi ke luar negeri, hingga pengajuan hak interpelasi dan angket mengenai BLBI oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Penuntasan proses hukum kasus BLBI sejatinya menjadi tolok ukur serius atau tidaknya pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Namun, dalam sepuluh tahun terakhir, terlihat jelas bahwa pemerintah sepertinya bertindak setengah hati untuk menyelesaikannya, khususnya di ranah penegakan hukum.

Dalam pantauan Indonesia Corruption Watch, hingga 2006, sedikitnya 65 debitor BLBI pernah diperiksa oleh kejaksaan dan kepolisian. Hasilnya, hanya 16 orang yang kasusnya dilimpahkan ke pengadilan. Penyelidikan dan penyidikan kasus terhadap 11 orang dihentikan. Selebihnya, sebanyak 38 pelaku, tidak jelas proses hukumnya.

Langkah Kejaksaan Agung pada 2007 membentuk tim khusus penanganan BLBI pada awalnya menjadi angin segar bagi upaya pemberantasan korupsi. Penyelidikan difokuskan pada penyerahan aset oleh obligor BLBI, yakni Bank Central Asia dan BDNI. Namun proses penyelidikan berakhir mengecewakan. Kejaksaan Agung pada 29 Februari 2008 menghentikan penyelidikan dua perkara yang diduga melibatkan Sjamsul Nursalim dan Anthony Salim. Meskipun mengakui adanya kerugian negara, Kejaksaan tidak menemukan unsur melawan hukum. Selanjutnya, Kejaksaan menyerahkan perkara tersebut kepada Departemen Keuangan untuk diselesaikan di luar mekanisme peradilan.

Setelah itu, seluruh proses hukum kasus BLBI nyaris tak terdengar. Pada kemudian hari, akhirnya terungkap adanya praktik suap yang melibatkan jaksa kasus BLBI, Urip Tri Gunawan, dengan Artalyta Suryani, orang yang diduga dekat dengan debitor BLBI. Uang suap sebesar Rp 6 miliar itu diduga sebagai ucapan terima kasih karena jaksa Urip dinilai berjasa menghentikan penyelidikan kasus BLBI di Kejaksaan.

Proses penegakan hukum perkara BLBI yang setengah hati ini tidak bisa dilepaskan dari beberapa kebijakan pemerintah--dari era Presiden Megawati hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono--yang lebih memprioritaskan pengembalian uang negara daripada penegakan hukum. Sikap pemerintah dan buruknya kinerja aparat penegak hukum akhirnya membuat banyak pihak kehilangan harapan terhadap upaya penuntasan kasus BLBI.
Harapan publik muncul lagi ketika KPK terbentuk dan mulai beroperasi pada 2004. Tim khusus penanganan perkara korupsi BLBI pernah dibentuk KPK di bawah pimpinan Antasari Azhar. Prosesnya pasang-surut, bahkan sempat terhenti ketika terjadi kriminalisasi terhadap pimpinan KPK.

Penetapan status tersangka terhadap Syafruddin baru-baru ini menjadi bukti keseriusan KPK. Bahkan KPK sebaiknya mengambil alih perkara-perkara korupsi BLBI yang belum diselesaikan atau telah dihentikan oleh Kejaksaan. Perkembangan ini seharusnya menjadi momentum bagi Presiden Joko Widodo untuk meninjau kembali kebijakan pemerintah sebelumnya, yang memperlakukan secara istimewa para konglomerat pengemplang dana BLBI.

Presiden Jokowi sebaiknya meminta Menteri Keuangan mengumumkan laporan perkembangan penyelesaian utang-utang debitor BLBI. Berdasarkan hasil audit BPK pada 2006, 10 debitor BLBI dinilai tidak kooperatif dan tujuh orang belum melunasi kewajibannya. Mereka yang tidak kooperatif harus diserahkan kepada penegak hukum atau KPK agar diproses secara hukum. Untuk mencegah korupsi dalam penanganan perkara, Jokowi juga harus meminta Kejaksaan dan Kementerian Keuangan untuk melaporkan dan mengumumkan upaya penyelesaian--termasuk lelang--aset milik koruptor BLBI dan kejelasan setoran ke kas negara.

Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja ICW

--------------------

Versi cetak artikel ini terbit di harian Tempo edisi 3 Mei 2017, dengan judul "Babak Baru Skandal BLBI".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan