Urgensi TPF Novel Baswedan

Tanggal 21 Mei 2017 menjadi hari ke-40 setelah penyerangan salah seorang penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan. Namun sampai saat ini pelaku teror yang telah menyiram air keras ke wajah Novel tersebut tak kunjung terungkap. Padahal sejauh ini kepolisian telah memeriksa 19 saksi.

Sulit untuk tidak mengatakan bahwa kasus tersebut jauh dari muatan politis. Mengingat, saat teror terjadi, Novel sedang memimpin satuan tugas penyidikan salah satu kasus terbesar yang pernah ditangani KPK, yakni megakorupsi pengadaan KTP elektronik. Proyek yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,3 triliun ini telah menyeret empat orang menjadi tersangka dan dalam berkas dakwaan disebutkan ada keterlibatan puluhan politikus yang diduga menerima aliran dana proyek.

Beberapa hari sebelum Novel diserang, dia baru saja dipanggil oleh pengadilan untuk dimintai keterangan atas pencabutan berita acara pemeriksaan (BAP) saksi Miryam S. Haryani, tersangka kasus korupsi KTP elektronik. Saat sidang berlangsung, Novel menyebutkan beberapa nama anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang diduga telah menekan Miryam untuk mencabut seluruh BAP yang telah ditandatanganinya saat proses penyidikan.

Setelah sidang tersebut, Dewan memanfaatkan rapat dengar pendapat dengan KPK untuk menggulirkan hak angket guna membuka rekaman pemeriksaan yang dilakukan Novel terhadap Miryam. Tampaknya lembaga legislatif merasa terganggu ketika Novel menyebut beberapa nama anggota Dewan, khususnya Komisi Hukum.

Rentetan kejadian itu diduga keras menjadi penyebab teror yang menimpa Novel dan menjadi pertanda perlawanan balik dari koruptor. Kesimpulan tersebut bukan tanpa dasar. Kriminalisasi terhadap Novel bukan pertama kali terjadi. Setidaknya sudah empat kali terjadi upaya untuk mencelakainya. Pertama, saat ia menangani kasus cek pelawat pada 2011. Novel pernah menjadi sasaran tabrak lari, tapi keberuntungan masih ada di pihaknya karena saat itu yang ditabrak adalah rekannya yang juga penyidik KPK.

Kedua, akhir 2012, Novel pernah dilaporkan atas dugaan kasus penganiayaan terhadap tersangka pencurian sarang burung walet pada 2004 di Bengkulu dan beberapa hari kemudian langsung ditetapkan sebagai tersangka. Ketiga, pada 2015, Novel ditangkap polisi atas dugaan kasus yang sama. Keempat, pada pertengahan 2016, dia ditabrak sebuah mobil ketika sedang mengendarai sepeda motor. Kala itu Novel tengah mengusut dua perkara korupsi besar.

Presiden sudah memerintahkan Kepala Polri untuk mengungkap kasus Novel. Namun perlu diingat bahwa pola koordinasi seperti ini sudah pernah terjadi sebelumnya. Saat penyerangan salah seorang aktivis ICW, Tama S. Langkun, Presiden pun melakukan hal yang sama. Namun, alih-alih mengungkap otak pelakunya, kelanjutan penanganan perkaranya saja sampai saat ini tidak diketahui.

Melihat lambannya pengungkapan kasus Novel, rasanya penting agar Presiden segera membentuk tim pencari fakta (TPF). Ini tentu bukan hal baru karena sebelumnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga pernah membentuk TPF kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir.

Suasana yang terjadi dulu pun hampir serupa dengan kejadian saat ini. Saat itu banyak desakan dari berbagai kalangan untuk segera membentuk TPF karena penegak hukum dinilai lamban dalam pengungkapan kasus Munir. Lalu, pada 2004, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2004 tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir, Presiden SBY memimpin langsung koordinasi pengusutan perkara tersebut. Jelas dikatakan dalam keputusan itu bahwa TPF bertugas membantu kepolisian dalam melakukan penyelidikan secara bebas, cermat, adil, dan tuntas terhadap peristiwa meninggalnya Munir.

Langkah seperti itu yang seharusnya dilakukan Presiden Jokowi. Pengungkapan kasus yang menimpa Novel tidak bisa hanya dipandang sebagai kriminal biasa, sehingga perlu membentuk TPF Penuntasan Kasus Novel Baswedan. Nantinya TPF tersebut bisa diisi oleh berbagai kalangan, baik dari pemerintah, penegak hukum, maupun masyarakat sipil.

Keberadaan TPF ini pun dipastikan akan berimplikasi positif dalam penuntasan kasus Novel. Setidaknya ada dua alasan utama. Pertama, TPF bisa bekerja secara independen dan transparan tanpa intervensi dari pihak mana pun karena pola koordinasi TPF hanya akan bermuara kepada Presiden. Ini bisa menjadi jaminan publik bahwa penuntasan kasus Novel akan semakin cepat.

Penyelesaian kasus Novel harus menjadi bukti dasar keberpihakan Presiden dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi. Jika kasus ini tidak segera diselesaikan, bayang-bayang teror akan terus menghantui penegak hukum lainnya dan Presiden dianggap gagal dalam menjamin rasa keamanan.

Kurnia Ramadhana, Pegiat antikorupsi Indonesia Corruption Watch

---------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Mei 2017, di halaman 6 dengan judul "Urgensi Perppu Informasi Pajak".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan