Tindakan Menghalangi Proses Hukum

Koalisi masyarakat sipil pada 2 Mei 2017 melaporkan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah ke KPK dengan dugaan telah melakukan tindak pidana menghalang-halangi proses hukum penyidikan perkara tindak pidana korupsi (obstruction of justice).
 
Hal yang melatarbelakangi laporan tersebut adalah Fahri Hamzah dianggap telah melakukan keputusan sepihak dengan mengesahkan pengguliran hak angket saat sidang paripurna DPR, (28/4). Selain secara formal pengajuan hak angket tidak diperuntukkan bagi penegak hukum, keputusan DPR kali ini pun berisiko mengganggu proses peradilan yang sedang berlangsung di persidangan. Dalam salah satu poin dari dasar pengajuan hak angket adalah keinginan DPR memaksa Komisi Pemberantasan Korupsi membuka rekaman berita acara pemeriksaan seorang saksi perkara korupsi KTP-el, Miryam S Haryani.
 
Kehendak DPR ini dapat dikategorikan pelanggaran hukum atas berjalannya sistem peradilan pidana (contempt ex facie). Laporan koalisi masyarakat sipil menarik dicermati. Aturan terkait obstruction of justice sendiri telah diatur dalam Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 
Dijelaskan dalam pasal itu setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan atas tersangka atau terdakwa ataupun saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
 
Selain aturan dalam UU Tipikor, tindakan obstruction of justice juga telah disepakati di  Konvensi PBB tentang Anti-Korupsi (UN Convention Against Corruption/UNCAC). Pasal 25 mengamanatkan negara peratifikasi wajib melakukan tindakan politik dan hukum untuk melawan tindakan yang menghalangi proses hukum kasus pidana korupsi. Hal ini berarti KPK punya kewenangan penuh memproses setiap orang yang berusaha menghambat sebuah perkara korupsi yang sedang ditangani KPK.
 
Intervensi terhadap proses penegakan hukum KPK bisa sangat mudah dipahami jika menggunakan teori kausalitas. Akibat yang ditanggung KPK secara kelembagaan maupun penyidik secara individu tak lepas dari kerja-kerja KPK selama ini. Dalam pengusutan perkara korupsi KTP-el saja tak kurang 52 politisi disebut menerima aliran dana dari proyek senilai Rp 5,9 triliun. Wajar jika pelaku korupsi merasa tak nyaman dengan keberadaan KPK lalu melancarkan serangan yang bisa berakibat tersendatnya pengusutan sebuah perkara.
 
Dua pola
Atas dasar itulah KPK harus bertindak aktif untuk segera menjerat yang bersangkutan dengan menggunakan Pasal 21 UU Tipikor. Delik yang mengatur obstruction of justice tergolong sebagai delik formal sehingga setiap tindakan baik yang sudah selesai ataupun percobaan sebenarnya sudah dapat dijerat oleh aparat penegak hukum.
 
Dalam pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) setidaknya ada 15 pelaku korupsi maupun pihak lain yang telah didakwa menggunakan pasal obstruction of justice, baik oleh kejaksaan maupun KPK. Sebut saja Anggodo Widjojo yang diketahui merencanakan upaya kriminalisasi terhadap Komisioner KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah pada 2010. Dalam rekaman yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi terungkap Anggodo bekerja sama dengan aparat kepolisian (Komisaris Jenderal Susno Duadji) memperlambat proses penanganan perkara saudara kandungnya, Anggoro Widjojo. Pada tahap kasasi Anggodo dihukum dengan pidana penjara selama 10 tahun dan denda Rp 250 juta.
 
Kasus lain yang cukup menarik perhatian adalah yang menimpa kuasa hukum salah seorang tersangka korupsi di Sumatera Barat, Manatap Ambarita, pada 2008. Manatap saat itu memberikan keterangan palsu tentang keberadaan tersangka yang akan diproses kejaksaan. Tindakan itu dianggap sebagai upaya memperlambat proses penanganan perkara korupsi yang menimpa kliennya. Beberapa kasus itu sebenarnya bisa dijadikan dasar yurisprudensi bagi penegak hukum untuk bisa memproses segala tindakan yang dianggap memenuhi unsur sebagai tindakan obstruction of justice.
 
Dari beberapa kasus itu setidaknya ada dua pola yang kerap digunakan pelaku korupsi untuk merintangi proses hukum. Pertama, menggunakan masyarakat untuk menghambat penanganan perkara. Hal ini kerap terjadi ketika aparat penegak hukum berusaha untuk melakukan proses penyidikan, pelaku korupsi menggunakan masyarakat umum untuk membela agar ia tidak diproses secara hukum.
 
Kedua, menggunakan kuasa hukum untuk melindungi pelaku korupsi. Acap kali penasihat hukum digunakan pelaku korupsi sebagai tameng untuk menutupi kejahatan sebenarnya. Kuasa hukum berfungsi melepaskan jerat hukum pelaku kejahatan dengan dasar-dasar hukum sah bukan malah melindungi pelaku dengan berusaha merintangi proses hukum yang sedang berlangsung.
 
Fenomena belakangan ini justru berbeda dari kasus-kasus sebelumnya. Pihak-pihak yang ingin menghambat penanganan perkara korupsi memakai cara baru, melalui jalur politik. Kejadian angket yang dianggap terlalu memaksakan dan tak tepat sasaran contohnya. Penanganan sebuah perkara yang sedang berjalan di ranah hukum tak sepatutnya digiring jadi isu politik. Segala hal yang berkaitan dengan sebuah perkara hanya bisa dibuka di depan persidangan hukum bukan persidangan politik.
 
Semestinya KPK berani menjangkau oknum yang dianggap menghambat penanganan sebuah perkara, baik langsung maupun tak langsung. Segala tindakan yang mengancam keberadaan KPK harus segera ditindak dengan aturan obstruction of justice. Jika KPK tak bertindak cepat menyelesaikan persoalan ini sudah barang tentu perlawanan balik dari koruptor akan semakin kencang.
 
KURNIA RAMADHANA, Pegiat Antikorupsi Indonesia Corruption Watch (ICW)
-------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Mei 2017, di halaman 7 dengan judul "Tindakan Menghalangi Proses Hukum".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan