KPK Vs Politisi

Saat Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk tahun 2003, pemerintah dan DPR yang melahirkan UU KPK sepakat bulat dan ikhlas untuk melahirkan lembaga antirasuah ini.
 
Justru khalayak tak menyambutnya dengan antusias. Sudah lama optimisme penegakan hukum itu terkubur. Lagi pula, KPK hanya lembaga anak bawang: ketuanya (Taufiequrachman Ruki) pensiunan polisi, pimpinan lain bukan jagoan dunia hukum, para penyidiknya pinjaman dari kepolisian dan kejaksaan, dan sistem kerjanya pun belum jelas.
 
Di mana akal sehat?
Ketika itu, banyak kalangan yang menilai KPK tak lebih dari berjibun lembaga lain yang seolah-olah sekadar menambah- nambah jabatan. Ternyata, di periode pertama ini Taufiequrachman Ruki dan kawan-kawan berhasil meletakkan fondasi lembaga pemberantasan korupsi dengan sistem yang lurus, tak pandang bulu, dan trengginas.
 
Periode-periode berikutnya, setiap kali komisioner baru terpilih, selalu ada suara-suara sumbang: mulai dari soal independensi, kapabilitas, juga dugaan- dugaan kedekatan dengan kekuasaan atau pihak lain di luar komisi. Namun, lembaga ini tetap membuktikan dirinya bebas dari pengaruh, tak terempas oleh gelombang, dan tak sampai sempoyongan oleh badai.
 
Beragam kasus dan modus telah dibongkar dan diantar ke pengadilan oleh KPK. Yang sama dari setiap periode kepemimpinan KPK adalah pemimpin-pemimpinnya dipilih dan ketuanya ditetapkan oleh DPR, tetapi DPR pula yang selalu jadi korbannya. Segala perjanjian dan lobi-lobi di belakang ruang sidang dengan para kandidat tak mempan untuk menghalangi KPK menggeruduk wakil-wakil rakyat yang korup. Dan, entah mengapa pula, hampir setiap kasus korupsi kakap di negeri ini berhulu di Senayan. Dari urusan jalan raya, perumahan atlet, sampai perkara hukum di Mahkamah Konstitusi.
 
Ketua KPK Agus Rahardjo menyebutkan, sejak berdiri, KPK telah menangkap banyak pemimpin yang dipilih dari hasil pemilu akibat korupsi. "DPR dan DPRD sudah 119 orang, gubernur 15 orang, bupati/wali kota 50 orang. Kita harus sudahi ini," katanya. Sebuah ironi, mengingat DPR pula yang memilih dan menetapkan pimpinan KPK.
 
Jadi, tak perlu heran jika serangan terhadap KPK pun paling gencar datangnya dari Senayan. DPR pula yang ngotot merevisi UU KPK, berusaha menumpulkan pedang lembaga ini dengan mempreteli kewenangan untuk menuntut, mengurangi kewenangan untuk menyadap pembicaraan, dan memberikan kewenangan baru untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan. Namun, segala usaha itu selalu terpental oleh kuatnya dukungan publik terhadap KPK. 
 
Hari-hari ini, menyusul pengungkapan kasus KTP elektronik, DPR kembali mengasah taring. Mereka membentuk panitia angket yang diketuai politisi Partai Golkar, Agun Gunandjar Sudarsa, yang namanya pun pernah disebutkan dalam dakwaan kasus korupsi KTP-el atas dua terdakwa dari Kementerian Dalam Negeri. Begitu juga beberapa nama anggota DPR yang duduk dalam panitia angket. Namanya Panitia Angket DPR, tetapi sesungguhnya semacam burung nazar yang menunggu lemahnya KPK. Singkatnya: mereka tengah berikhtiar menjinakkan macan yang telah mereka pilih sendiri.
 
Dari alur fakta, terasa sulit menjelaskan dengan akal sehat bahwa penggunaan hak angket DPR terhadap KPK dimotivasi untuk memperkuat KPK. Semua ini lantaran KPK menyidik kasus KTP-el dan menyebut sejumlah anggota DPR, terutama Ketua DPR Setya Novanto. Faktor Amien Rais kian memperjelas keyakinan ini. Begitu nama mantan Ketua Partai Amanat nasional (PAN) ini disebut menerima uang dalam kasus mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, PAN yang tadinya tidak ikut dalam rombongan pendukung hak angket langsung berbalik arah. Berbagai dalih hukum memang bisa dipakai untuk membenarkan penggunaan hak angket ini, tetapi akal sehat dan hati nurani sulit untuk diberi alasan.
 
Bersalahkah Amien Rais?
Amien Rais sebetulnya tidak perlu terlalu reaktif terhadap KPK, juga PAN. Nama Amien Rais muncul dalam proses penyidikan KPK dalam kasus alat kesehatan yang melibatkan Siti Fadilah Supari. Dan, KPK diharuskan oleh hukum untuk mempresentasikan hasil penyidikannya di persidangan pengadilan. KPK tak boleh mengurangi, melebihkan, dan menghilangkan fakta penyidikan. KPK wajib mengatakan apa saja yang terjadi dan tergambarkan dalam penyidikan, termasuk adanya nama Amien Rais.
 
Penyebutan nama Amien Rais di pengadilan sama sekali tidak menunjukkan adanya kesalahan atau potensi kesalahan Amien Rais. Tokoh reformasi ini sungguh-sungguh tidak bisa dinilai bahwa ia korupsi dan mengambil uang negara. Ketika Amien Rais menerima aliran dana tersebut, ia bukan berstatus penyelenggara negara. Ia warga negara biasa.
 
Bahwa Amien Rais menerima uang tersebut dari yayasan sosial Soetrisno Bachir, tetapi ia tak pernah berurusan dengan aparat negara yang bertanggung jawab dengan uang yang diterimanya. Amien Rais tidak boleh dipersepsikan bahwa ia patut dapat menduga bahwa uang yang diterimanya itu adalah uang haram. Amien Rais menerima uang tersebut dari lembaga milik Soetrisno Bachir.
 
Ada yang membandingkan dengan kasus Andi Zulkarnaen Mallarangeng (Choel), yang juga bukan penyelenggara negara, tetapi toh dihukum. Ini dua hal yang berbeda. Choel betul bukan penyelenggara negara, tetapi ia terbukti meminta uang negara melalui Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharram. Choel  bahkan ikut aktif mengatur pertemuan. Ia memang bukan penyelenggara negara, tetapi terkait dengan penyelenggara negara, yakni, kakaknya, Andi Mallarangeng, Menpora, dan sekretaris lembaga yang dipimpin kakaknya.
 
Amien Rais sama sekali tidak ada keterkaitannya dengan penyelenggara negara sebab uang yang ia terima datangnya dari yayasan sosial. Dalam perspektif hukum pidana, Amien Rais tidak memiliki motif untuk melakukan kejahatan. Dalam hukum pidana, motif adalah hal pertama yang jadi dasar untuk memidanakan seseorang. Karena itu, kalau toh kelak bisa dibuktikan bahwa uang yang ia terima itu adalah uang negara, Amien Rais cukup mengembalikannya saja. Ia tidak boleh dipidana dengan penerimaan uang yang dilakukannya itu.
 
Sejatinya, nama Amien Rais disebutkan oleh sekretaris yayasan Soetrisno Bachir, lalu dalam persidangan Siti Fadilah Supari, nama Amien Rais dikonfirmasi. Jadi, Amien Rais sama sekali tidak jadi target KPK sehingga tidak perlu menyoal bahwa KPK melanggar hukum karena menyebut namanya, tanpa ia pernah dimintai keterangan oleh KPK dalam bentuk kesaksian dengan berita acara pemeriksaan. Penyebutan nama Amien Rais semata-mata karena orang lain yang menyebutkannya dan masuk dalam berita acara pemeriksaan.
 
Sebagai tokoh reformasi, Amien Rais sebaiknya tidak ikut menari di atas irama gendang para politisi yang bertekad dan punya motif menghabisi KPK.
 
Untuk mereka, kita pinjam lagu Rhoma Irama, "Kegagalan Cinta", dengan tambahan satu kalimat: "/Kau yang mulai kau yang mengakhiri... /Kau yang memilih, kau yang ditangkapi..../"
 
HAMID AWALUDDIN, MENTERI HUKUM DAN HAM 2004-2007; PENGAJAR FH UNIVERSITAS HASANUDDIN
---------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Juni 2017, di halaman 7 dengan judul "KPK Vs Politisi".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan