Siasat DPR terhadap KPK

Miris rasanya membaca berita utama Kompas, Sabtu (10/6), "KPK Dihabisi". Betapa tidak! Panitia Angket KPK berdalih tidak bermaksud melemahkan atau membubarkan KPK, tetapi memunculkan perubahan posisi sejumlah fraksi (kecuali Demokrat, PKS, dan PKB) terkait hak angket. Jelas ini menimbulkan keraguan atas pernyataan itu.  
 
August Bequai dalam buku, White Collar Crime: A 20th-Century Crisis, menegaskan bahwa krisis pada abad ke-20 adalah melembaganya kejahatan kerah putih yang meliputi para birokrat politisi di hampir semua sektor kelembagaan politik. Inilah yang memicu semacam balas dendam politik (political revenge) oleh legislatif terhadap lembaga penegak hukum di Indonesia, seperti berulang-ulang dialami Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 
 
Kita mengamati bentuk-bentuk intervensi kelembagaan berdalih legalitas regulasi. Misalnya, melalui revisi UU KPK bagi penguatan lembaga KPK, yang justru melemahkan KPK dengan menghilangkan wewenang penuntutan KPK, mengurangi wewenang sadap, memberi wewenang menghentikan penyidikan/penuntutan.
 
Juga intimidasi dan teror terhadap penyidik KPK, seperti dialami Novel Baswedan, hingga kini belum juga terungkap eksekutor lapangannya, apalagi master-mind eksekutornya. Semua itu adalah bentuk intervensi  terhadap penegakan hukum dan bagian pola pressed-back terhadap KPK dari pihak-pihak yang merasa terkena imbas penegakan hukum KPK.
 
KTP elektronik
Pengungkapan kasus KTP elektronik yang diduga melibatkan personalitas kelembagaan DPR dan aktor politik lainnya menjadi perseteruan baru DPR dengan KPK. Pencekalan terhadap Ketua DPR menimbulkan reaksi keras dari pemimpin DPR, berkembang pula dengan penetapan tersangka Miryam S Haryani dan Markus Nari yang disangkakan memberikan keterangan tidak benar di pengadilan dan ada usaha merintangi proses pro justisia.
 
Polemik pencekalan Ketua DPR dan reaksi keras pemimpin DPR membuahkan kehendak dan persetujuan DPR atas hak angket DPR terhadap KPK meskipun ditolak oleh publik dan diikuti dengan sejumlah kejanggalan, antara lain beberapa anggota partai politik walk-out, tetapi tetap saja pembentukan Pansus Hak Angket bergulir walaupun formalitas persyaratan undang-undang menjadi polemik. 
 
Bagaimana eksistensi hak angket terhadap KPK? Yang terpengaruh, antara lain adalah, kinerja KPK atas pemeriksaan tersangka anggota DPR, Miryam Haryani, dan soal permintaan rekaman pemeriksaan Miryam. Semua ini akan menjadi beberapa catatan hukum tersendiri, baik terkait mekanisme maupun substansi pelaksanaan Pansus Hak Angket ini.
 
Kesatu, dari sisi formal prosedural, legalitas konstitusional atas hak angket memang dimiliki DPR, yaitu hak DPR untuk menyelidiki pelaksanaan suatu undang-undang dan atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas, yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
 
Permasalahan mekanisme dari persyaratan pansus ini adalah memaknai Pasal 201 Ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 yang menyatakan, "Dalam hal DPR menerima usul hak angket sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), DPR membentuk panitia khusus yang dinamakan panitia angket yang keanggotaannya terdiri atas semua unsur fraksi DPR".   
 
Dalam pendekatan penafsiran dan konstruksi hukum interdisipliner secara substansial, khususnya facet hukum pidana dan hukum tata negara, makna "semua unsur fraksi DPR" haruslah diartikan  suatu kepastian hukum yang memenuhi syarat lex scripta (syarat tertulis) dan karena itu haruslah diartikan lex stricta (seperti apa yang dibaca) dan lex certa (tidak bisa diartikan lain secara multitafsir). 
 
Dengan demikian, pemaknaan "semua unsur fraksi DPR" haruslah dimaknai 10 unsur fraksi sebagai suatu legalitas persyaratan hukum adanya pansus angket. Dengan tidak terpenuhinya persyaratan tersebut haruslah diartikan bahwa pembentukan pansus angket adalah mengandung ketidakabsahan secara hukum.
 
Kedua, dalam hal DPR berpendapat bahwa pembentukan pansus angket sudah sesuai kuorum aturan Tata Tertib DPR (Tatib DPR), padahal UU MD3  terkait  pembentukan pansus tidak dikenal mekanisme kuorum. Apabila diartikan paksa secara a contrario, kuorum haruslah dimaknai unsur 10 fraksi juga, bukan sekadar keikutsertaan fraksi yang ada.
 
Pemaknaan kuorum pada tataran regulasi Tatib DPR haruslah dilakukan sesuai perangkat dan tidak diperkenankan bertentangan dengan levelitas regulasi undang-undang yang berada di atasnya sesuai tingkatan hierarki dari asas lex superiori derogat legi inferiori sehingga ketentuan regulasi yang lebih rendah tingkatannya (Tatib DPR) tidak dapat mengubah atau mengesampingkan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya (UU No 17/2014). Pemaknaan paksaan atas kuorum berdasarkan Tatib DPR bertentangan dengan asas lex superiori derogat legi inferiori.
 
Permasalahan makna "semua unsur fraksi DPR" pada  Pasal 201 Ayat (2) UU No 17/2014 ataupun persoalan kuorum versi DPR pada Tatib DPR merupakan fakta adanya ketidakabsahan pembentukan pansus angket ini dan ketidakabsahan legalitas pembentukan pansus angket ini adalah akibat suatu perbuatan yang untuk sebagian atau seluruhnya bagi hukum dianggap tidak ada, tanpa diperlukan putusan hakim atau badan pemerintahan lain yang berkompeten atau pembatalan yang bersifat ex  tunc.
 
Ketiga, terkait kehadiran tidaknya kelembagaan KPK pada forum hak angket DPR, sebagai perbandingan kelembagaan atas rapat dengar pendapat (RDP) adalah RDP antara Mahkamah Agung (MA) dan DPR. Tidak pernah terdengar RDP dengan KPK karena MA menolak pendapat DPR yang senyatanya telah melakukan pendapat terkait teknis yudisial beberapa kasus yang ditangani Mahkamah Agung. Oleh karena itu, forum RDP tidak pernah lagi dilakukan oleh MA.
 
Kewenangan subpoena
DPR memiliki kewenangan semacam subpoena berupa panggilan paksa terhadap badan hukum dan/atau warga masyarakat  sesuai Pasal 73 UU No 17/2014 tentang MD3 (MPR, DPR, DPD, DPRD) dan pengabaian atas panggilan (3 kali berturut-turut) adalah dengan sandera selama-lamanya 30 hari, tetapi UU ini tidak memberikan pengaturan subpoena ataupun penyanderaan bagi pejabat negara dan atau pejabat pemerintah sehingga dapat diartikan bahwa tata cara atau mekanisme dan sanksi ataupun dampaknya atas ketidakhadiran dalam rangka hak angket DPR tidaklah memiliki dampak hukum dan politik apa pun terhadap kelembagaan negara, termasuk KPK sebagai lembaga negara yang independen.
 
Memaknai Pasal 74 UU No 17/2014, hak angket tidak memiliki fiat eksekutorial, baik terhadap dampak maupun sanksinya terhadap KPK, baik secara hukum maupun politik ketatanegaraan. Sifat non-fiat eksekutorial ini berdasarkan pemahaman bahwa filosofi kesatu dari UU Nomor 17/2014 terkait Hak Angket adalah fungsi pengawasan DPR berupa penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang dan atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas yang diduga bertentangan dengan perundang-undangan. Namun, KPK tidak dalam posisi sebagai subyek maupun objek penyelidikan.  
 
Filosofi kedua, bahwa hasil produk Pansus Angket adalah sebatas rekomendasi kepada presiden dan rekomendasi ini tidak memiliki daya fiat eksekutorial terhadap KPK.  
 
Filosofi ketiga bahwa sistem ketatanegaraan yang berbasis presidensial tidak memberikan otoritas  DPR untuk menentukan eksistensi status kenegaraan atas lembaga negara kementerian dan nonkementerian maupun keanggotaannya  atas terbitnya  rekomendasi Pansus Angket. Tampaknya, kehendak hak angket ini lebih tertuju pada kekuatan individual atau group of vested interest, bukan mewakili DPR sebagai State Institution Interest mengingat inkonsistensi dan tidak seluruh keterwakilan partai politik  mengajukan hak angket itu sendiri.
 
Keempat, dari sisi substansi, dalam pemahaman sistem peradilan pidana, proses penyidikan yang pro-justitia, KPK memiliki otoritas penuh untuk tetap menolak membuka rekaman Miryam di DPR dengan dalih hak angket tersebut, dan sikap transparansi terhadap proses pro-justitia ini hanya dapat dilakukan atas perintah peradilan dengan pertimbangan for the interest of justice.   
 
Kehendak paksaan DPR melalui hak angket untuk melakukan penyelidikan terhadap KPK adalah sebagai bentuk Obstruction of Justice dan Contempt Ex Facie dalam sistem peradilan pidana, yaitu  dapat diduga melakukan perbuatan "mencegah", "merintangi" atau  "menggagalkan" proses penyidikan KPK atas pengungkapan secara masif kasus KTP-el.
 
Dengan pertimbangan obstruction of justice inilah, UU Tipikor menempatkan Pasal 21 dengan sanksi pidana bagi perbuatan menghalang-halangi proses pro-justitia ini.   Dalam hal diperlukan penyelidikan DPR kepada KPK atas tata kelola anggaran dan manajemen kelembagaan, yang seharusnya sudah cukup dalam tataran Rapat Dengar Pendapat saja.    Pimpinan KPK era pertama, pernah menolak hak angket terhadap kasus pro-justitia penjualan kapal VLCC Pertamina (Very Large Crude Carrier) dan atas penolakan ini pun tidak ada sanksi dan dampak lain terhadap KPK.
 
Seharusnya due process of law atas penindakan korupsi kelembagaan yang masif ini tidak dimaknai melalui DPR dengan jubah penguatan kelembagaan KPK, yang justru memicu permisif secara a contrario bagi pelemahan dan pembubaran KPK!
 
INDRIYANTO SENO ADJI, Guru Besar Hukum Pidana; Pengajar Program Pascasarjana UI Bidang Studi Ilmu Hukum; Mantan Wakil Ketua KPK
-----------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Juni 2017, di halaman 6 dengan judul "Siasat DPR terhadap KPK".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan