In-Depth Analysis: Ironi Dana Desa

Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap sejumlah pejabat di lingkungan Kabupaten Pamekasan pada 2 Agustus 2017 lalu, menambah panjang daftar kasus korupsi menyangkut dana desa.

Tak tanggung-tanggung, KPK telah menetapkan 5 orang tersangka dalam kasus OTT tersebut, yaitu Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudy Indra Prasetya, Kepala Inspektorat Pamekasan Sutjipto Utomo, Bupati Pamekasan Achmad Syafii, dan Kepala Desa Dasok Agus Mulyadi serta Kabag Administrasi Inspektorat Pamekasan Noer Solehudin.

Penangkapan tersebut merupakan buntut dari dugaan suap yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Pamekasan guna menghentikan penyidikan kasus korupsi dana desa Dasok yang sedang ditangani oleh Kejaksaan Negeri Pamekasan. Tersangka Sutjipto, Agus Mulyadi, Achmad Syafii dan Noer Solehhoddin diduga sebagai pemberi suap. Sedangkan Kajari Pamekasan, Rudi Indra Prasetya diduga sebagai penerima suap.

Kasus korupsi dana desa Dasok sendiri bermula dari laporan masyarakat mengenai dugaan penyimpangan anggaran proyek infrastruktur senilai Rp100 juta kepada Kejari Pamekasan. Laporan ini pun kemudian ditindaklanjuti dengan melakukan pengumpulan bahan dan keterangan. Ternyata dalam proses itu terjadi komunikasi antara Kejari Pamekasan dengan Pemerintah Kabupaten Pamekasan, yang pada akhirnya menyepakati penanganan kasus akan dihentikan apabila pihak Pemerintah Kabupaten Pamekasan menyerahkan commitment fee sebesar Rp250 juta kepada Kajari Pamekasan.

Kasus yang terjadi di Kabupaten Pamekasan hanyalah puncak gunung es dalam pengelolaan dana desa. Hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun 2015-2017 setidaknya terdapat 110 kasus terkait dengan anggaran desa. Jumlah kerugian negaranya pun mengalami peningkatan, pada 2016 mencapai Rp10,4 miliar lalu meningkat menjadi Rp19,6 miliar pada 2017. Dari sisi pelakunya, sepanjang 2015-2017, sebanyak 107 kepala desa telah ditetapkan menjadi tersangka. Bahkan, jika mengacu pada data KPK, hingga saat ini sudah ada 362 laporan masyarakat yang diterima KPK mengenai dana desa.

Banyaknya kasus korupsi yang berkaitan dengan anggaran desa tentu berbanding terbalik dengan semangat Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pada awal perumusannya, UU Desa menempatkan desa sebagai garda terdepan pembangunan. Sebab, sebelum disahkannya UU Desa, sering kali desa mengeluh akan buruknya fasilitas dan pelayanan publik di daerahnya, namun di sisi lain tidak berdaya untuk melakukan perubahan karena tidak memiliki anggaran sendiri dan sangat bergantung dengan APBD. Dengan disahkannya UU Desa, maka masyarakat desa memiliki otonomi untuk mengelola anggarannya sendiri.

Sayangnya, anggaran desa yang begitu besar – pada 2017 mencapai Rp60 trilyun dan direncanakan meningkat dua kali lipat pada 2018 – masih bermasalah dalam pengelolaannya, bahkan sebagian dananya dikorupsi.

Setidaknya ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah semakin banyaknya dana desa yang dikorupsi, yaitu, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang berisi wakil masyarakat desa harus berperan aktif melakukan pengawasan dan mendorong masyarakat untuk ikut mengawasi pengelolaan dana desa. Kemudian, Satuan Tugas Dana Desa yang telah dibentuk oleh Kementerian Desa juga perlu melakukan pengawasan dan penguatan kepada pendamping desa maupun kepala desa.

Di sisi lain, Kementerian Dalam Negeri harus memastikan bahwa setiap kepala desa dan perangkatnya telah memiliki kemampuan perencanaan dan pengelolaan anggaran desa. Sedangkan, penegak hukum harus berintegritas tinggi tanpa tebang pilih memproses setiap pelanggaran hukum dana desa. (Tari/Agus)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan