Menepis Keluhan Jantung Palsu

Putusan praperadilan telah dijatuhkan. Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Cepi Iskandar, telah mengabulkan permohonan Setya Novanto. Meski demikian, foto dramatis Novanto yang terbaring lemah dengan monitor perekam jantung yang tampak lurus masih menjadi perbincangan dan mengundang pertanyaan. Apakah keluhan sakit itu benar adanya atau sekadar rekayasa?

Sebagai dokter, saya tentu saja tidak boleh terlibat dalam kontroversi penyakit seseorang, tanpa membaca kelengkapan data klinis penderita. Namun, sebagai dokter spesialis penyakit jantung dan pembuluh darah, saya memahami seperangkat metode dan alat untuk menentukan seseorang sehat atau bermasalah dengan jantungnya.

Tentang penyakit jantung Novanto, informasi dari media massa menyebutkan bahwa pembuluh darah jantung Novanto menyempit 80 persen dan telah diatasi dengan pemasangan cincin jantung. Jika benar demikian, ia menderita penyakit jantung koroner (PJK).

Peran PJK terhadap kematian adalah nomor wahid di dunia. Pembiayaan penyakit jantung, termasuk PJK, telah menggerus dana BPJS paling banyak dibandingkan penyakit-penyakit lain. Maka, penting bagi masyarakat untuk memahami penyakit ini.

Mengada-ada
Penyakit jantung koroner dapat menyerang siapa saja, laki-laki perempuan, kaya miskin, jujur tidak jujur, dan seterusnya. Ini adalah penyakit yang terjadi karena ada penyempitan liang pembuluh darah yang memperdarahi jantung (pembuluh koroner).

Penyempitan dapat mengganggu aliran oksigen pada otot jantung. Serangan jantung adalah salah satu jenis PJK, menyebabkan keluhan mendadak yang mengakibatkan kematian pada sebagian otot jantung.

Bisakah seseorang berpurapura sakit jantung dengan keluhan yang mengada-ada?

Dokter punya gurauan tersendiri saat menghadapi pasien yang gemar mendramatisasi keluhan dengan berbagai alasan dan ingin berlama-lama di rumah sakit. Para ahli medis menyebut sang dramawan ini sebagai pasien VVIP. Bukan dengan singkatan very very important person, melainkan very very intimidating patient. Hal itu lantaran keluhan pura-pura itu memicu dokter bersikap over treatment atau under treatment karena obyektivitas diagnosis penyakit terganggu.

Pada gilirannya, sikap mengada-ada demikian dapat membahayakan pasien itu sendiri dan memicu tuntutan hukum bagi sang dokter karena potensi efek samping ketidaktepatan terapi.

Keluhan palsu
Kemajuan fasilitas diagnosis penyakit-termasuk penyakit jantung-saat ini membuat para dokter tidak lagi sulit membuktikan apakah keluhan tersangka itu palsu atau tidak. Beragam jenis pemeriksaan noninvasif hingga pemeriksaan invasif dapat mengungkap apakah keluhan sakit dada itu karena jantung kekurangan oksigen atau sebenarnya khawatir karena sedang menghadapi masalah lain.

Tentu saja setiap dokter dituntut melakukan diagnosis dan terapi sesuai dengan tuntunan medis standar. Dokter diperkenankan melakukan diskresi jika mendapat kesulitan dalam pemeriksaan atau terapi standar.

Dengan demikian, tidak mudah bagi seseorang untuk membohongi dokter dengan keluhan yang dibuat-buat. Dokter memiliki berbagai petunjuk dan metode untuk membuktikan apakah seorang pasien mengada-ada atau tidak.

Berlama-lama
Kemajuan teknologi terapi penyakit jantung memungkinkan pasien saat ini tidak perlu berlama-lama di rumah sakit. Pada tahun 1960-an, para penderita serangan jantung harus tirah baring (bed rest) paling tidak enam minggu di rumah sakit. Kini dalam kurun 4-5 hari penderita dapat kembali ke rumah kecuali tentu mereka yang menderita serangan jantung berat dan dengan komplikasi.

Pada penderita PJK tanpa serangan jantung yang menjalani terapi intervensi jantung dengan pemasangan cincin bahkan bisa rawat jalan atau pulang keesokan harinya. Perawatan lama di rumah sakit dapat menimbulkan gangguan kesehatan, baik karena masalah imobilisasi maupun tularan infeksi rumah sakit (nosocomial infection).

Bill Clinton, sebagai contoh, sehari setelah menjalani pemasangan dua "cincin" jantung segera pulang. Ia kemudian meneruskan kerja sosial membantu korban gempa bumi Haiti.

Kolaborasi dokter
Bagaimana jika terjadi kolaborasi dokter jantung dengan pasien, apa pun tujuannya. Apakah memungkinkan?

Kolaborasi bisa saja terjadi, tetapi itu akan membahayakan jiwa si pasien itu sendiri. Misalnya, tindakan pemasangan cincin jantung dengan indikasi yang tepat memang terbukti bermanfaat mengatasi keterbatasan suplai oksigen jantung. Namun, prosedur ini mengandung risiko menggerus fungsi jantung dan bisa fatal.

Penderita yang terpasang cincin jantung harus mengonsumsi obat pengencer seumur hidup. Penghentian obat tersebut pada penderita yang baru saja menjalani pemasangan cincin jantung akan memicu gumpalan darah yang dapat menyumbat liang pembuluh darah jantung.

Berpura-pura sakit jantung dan tindakan intervensi jantung yang tidak tepat justru membahayakan jiwa sang pasien. Dengan ikhlas menjalani prosedur, misalnya, walaupun mungkin berakhir dengan penjara, bisa jadi malah akan menyehatkan jantung. Hal ini karena akan ada banyak waktu untuk mengupayakan jantung sehat.

Yang pasti, untuk menjaga jantung sehat perlu berolahraga secara teratur dan mengonsumsi makanan sehat.

A FAUZI YAHYA, Dokter Spesialis Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah, Tinggal di Bandung
--------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Oktober 2017, di halaman 7 dengan judul "Menepis Keluhan Jantung Palsu"

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan