Tentara, Modal, dan Politik

Banyak pengamat melihat Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo sudah mulai berkampanye. Secara khusus Gatot dinilai sedang memobilisasi dukungan dari partai dan organisasi Islam. Isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia dan mobilisasi nonton bareng film G30S/PKI adalah salah satu strategi yang disebut-sebut dipakai untuk menggalang dukungan guna mendongkrak popularitas dan elektabilitas. Banyak pihak pun memintanya mundur dari jabatan Panglima TNI.

Manuver Gatot oleh banyak pengamat dilihat sesungguhnya bukan sekadar mewakili ambisi pribadi. Langkah Gatot dianggap mewakili kekecewaan dan frustrasi TNI, khususnya TNI AD, yang kehilangan peran dan juga akses ke sumber daya material. Berangkat dari pemahaman tentang modal di Indonesia, sangat penting untuk merumuskan kebijakan TNI profesional serta implikasi finansialnya.

Modal domestik
Richard Robison dalam buku klasik, Indonesia: The Rise of Capital (1986), menunjukkan bagaimana rezim Orde Baru membangkitkan modal domestik. Ia menunjukkan empat modal domestik utama: konglomerat Tionghoa, konglomerasi pribumi, modal negara, yakni BUMN, dan bisnis militer.

Dengan dukungan, fasilitas, dan proteksi, keempat modal domestik ini tumbuh besar menjadi konglomerasi di berbagai sektor. Namun, krisis ekonomi tahun 1997 dan disusul dengan tumbangnya kekuasaan Orde Baru membuat modal domestik menghadapi situasi sulit. Reformasi oleh Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas semua fasilitas dan proteksi untuk modal domestik.

Sementara itu, kebijakan privatisasi dan liberalisasi membuka pintu bagi modal internasional yang menjadi kompetitor bagi modal domestik. Praktis, saat itu adalah masa-masa yang sulit bagi modal domestik.

Robison dan Vedi Hadiz dalam buku Reorganising Power in Indonesia (2004) menunjukkan kebangkitan oligarki. Alih-alih terpinggirkan, elite ekonomi politik justru bangkit setelah reformasi.

Lalu, bagaimana perkembangan modal domestik? Christian Chua menulis buku Chinese Big Business in Indonesia (2009) menyatakan, demokrasi dan desentralisasi justru memfasilitasi ekspansi konglomerat Tionghoa. Dengan besarnya sumber daya finansial yang mereka miliki, peran konglomerat menjadi penting dalam sistem politik yang diwarnai oleh praktik politik uang.

Modal kedua, yakni konglomerat pribumi, juga mampu bangkit, tidak hanya di ekonomi, tetapi juga di politik. Aburizal Bakrie tahun 2007 dinobatkan majalah Forbes sebagai orang terkaya di Indonesia. Bakrie yang pernah memimpin Partai Golkar saat ini mungkin sedang kesulitan dengan beratnya beban utang di grup bisnisnya. Toh, ia masih tetap berada di jajaran atas orang kaya di Indonesia dan sosok berpengaruh di Partai Golkar. Contoh lain, Jusuf Kalla, konglomerat yang kini menjadi wakil presiden.

Modal ketiga, BUMN saat ini bangkit kembali mendominasi berbagai sektor. Fokus pembangunan infrastruktur oleh Joko Widodo menempatkan BUMN-BUMN sebagai pemain penting. Suntikan modal dan pembangunan infrastruktur membuat BUMN-BUMN semakin besar. Sebelumnya, program reformasi BUMN yang didorong oleh Bank Pembangunan Asia (ADB) berhasil membenahi BUMN. Semester I-2017, total aset BUMN mencapai Rp 6.694 triliun (Kompas.com, 30/8/2017) atau hampir 50 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Lalu, bagaimana modal domestik keempat, yakni bisnis militer? Berbeda dengan tiga modal domestik lainnya, bisnis militer kini terpuruk. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI tegas melarang tentara berbisnis dan memerintahkan TNI untuk menyerahkan unit bisnisnya kepada negara. Sampai saat ini belum jelas bagaimana proses penyerahan bisnis militer itu, tetapi saya menduga, sebagian besar bisnis itu merugi atau diambil alih oleh mitra bisnisnya.

Faktor lain yang menyebabkan bisnis militer surut adalah pemisahan yang jelas antara fungsi pertahanan dan keamanan. Tentara tidak hanya mundur dari bisnis, tetapi juga dalam hal keamanan yang kini menjadi tugas polisi. Dimundurkannya TNI dari tugas keamanan menutup akses tentara ke sumber-sumber pendanaan informal, dan ilegal, terkait proteksi dan keamanan.

Selain terpuruknya bisnis militer, tentara kini juga kehilangan akses atas sumber daya material melalui jabatan-jabatan politis. Generasi Jenderal Gatot Nurmantyo adalah mereka yang dulu masuk TNI berharap setelah pensiun akan menduduki jabatan penting di dalam birokrasi, parlemen, atau kepala daerah.

Dalam lanskap politik yang demokratis, jabatan-jabatan itu hanya didapat melalui kompetisi yang ketat dengan para politisi. Tentu tentara sulit bersaing dengan para politisi yang telah mengembangkan keterampilan dan jaringan bahkan sejak mahasiswa.

Tentara profesional
Terkait dengan manuver Jenderal Gatot yang tengah disoroti, ada dua hal penting untuk didiskusikan. Pertama, dengan mundurnya TNI dari parlemen dan ditutupnya bisnis militer, secara umum tentara telah kembali ke barak. Tetapi, kini justru politisi sipil ”mengajak” TNI untuk melompat pagar keluar dari barak dan kembali berpolitik.

Kedua, mengembalikan ke barak dan menjadikannya sebagai tentara profesional membutuhkan biaya. Tanpa memperhitungkan biaya ini, ajakan para politisi mengundang Jenderal Gatot, dan juga kelak jenderal-jenderal lain, akan terus berulang. Oleh karena itu, sangat mendesak untuk merumuskan seperti apa tentara profesional serta berapa ongkos yang dibutuhkan.

Menjadikan TNI sebagai tentara profesional membutuhkan biaya yang besar, tetapi sangat penting bagi masa depan politik dan demokrasi di Indonesia.

J Danang Widoyoko, Mahasiswa Australian National University

Tulisan ini disalin dari Kompas, 11 Oktober 2017

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags