Tender dan Prestasi Olahraga

Majalah Tempo mencatat perolehan medali Indonesia dalam SEA Games 2017 adalah yang terburuk dalam sejarah. Tentu ada banyak faktor mengapa itu terjadi, tapi satu hal penting adalah buruknya persiapan Indonesia. Belakangan terungkap bahwa sejumlah cabang olahraga dan atlet belum mendapatkan fasilitas mereka. Bahkan, sampai SEA Games berakhir, peraih emas tolak peluru putri, Eki Febri Ekawati, belum mendapat uang makan dan penginapan. Sebenarnya ini bukan masalah baru. Tapi sungguh aneh persoalan ini muncul ketika regulasi soal pengadaan barang dan jasa pemerintah sudah direformasi. Dengan aturan yang ada, berbagai persoalan yang dihadapi atlet dan induk olahraga sebetulnya tidak perlu terjadi.

Setelah krisis ekonomi 1997, pemerintah telah berulang kali melakukan revisi aturan tender pemerintah. Pada dasarnya, tender diatur agar memenuhi prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan efektivitas, serta keadilan. Pada prinsipnya, belanja pemerintah harus dilakukan melalui tender yang terbuka bagi semua penyedia barang dan jasa. Harapannya, pemerintah mendapat barang dan jasa dengan kualitas terbaik dan harga termurah.

Secara umum, aturan tender yang baru memerlukan waktu lama, lebih dari sebulan. Bahkan, jika ada peserta tender yang mengajukan sanggah, prosesnya akan lebih lama lagi. Namun pemerintah telah membuat terobosan untuk mempercepat proses tender. Salah satu inovasi penting adalah mendorong penggunaan katalog elektronik (Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah). Dalam katalog itu, pemerintah tidak perlu lagi melakukan tender, tinggal membeli barang yang tersedia di katalog yang dikelola Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP). Jika barang belum tersedia, lembaga negara-seperti Kementerian Pemuda dan Olahraga-bisa mengusulkan ke LKPP agar dimasukkan ke dalam katalog elektronik.

Inovasi lain adalah tender mendahului anggaran. Jadi proses tender sudah bisa dilakukan sebelum anggaran diketuk di DPR. Begitu Daftar Isian Penggunaan Anggaran (DIPA) sudah disepakati, tender bisa dilakukan. Lagi pula, untuk acara besar seperti SEA Games yang sudah lama direncanakan, tender bisa dilakukan sebelum tahun anggaran berjalan.

Faktor lain yang juga tidak kalah penting adalah koordinasi dengan induk olahraga. Tidak semua induk organisasi olahraga memiliki kapasitas memadai untuk mengelola bantuan pemerintah. Tapi, dalam acara yang sudah direncanakan jauh hari seperti SEA Games, pemerintah bisa memberikan bantuan pelatihan. LKPP atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) punya banyak sumber daya yang bisa dikerahkan untuk memberikan pelatihan. Alternatif lain, bila induk olahraga tidak mampu meningkatkan kapasitasnya, pengadaan bisa dilakukan melalui skema swakelola. Artinya, manajemen pengelolaan keuangan dan program dikelola sepenuhnya oleh Kementerian Olahraga.

Ketika aturan tender sudah dipermudah, lantas di mana persoalannya? Saya membuka kembali salah satu literatur klasik yang ditulis oleh Karl Jackson, Bureaucratic Polity: A Theoretical Framework for the Analysis of Power and Communications in Indonesia (1978). Ia menyoroti dominasi elite birokrasi dalam politik di negeri ini. Apa yang ditulis oleh Karl Jackson masih relevan hingga saat ini karena praktis banyak kebijakan teknis diambil oleh birokrasi, termasuk dalam perencanaan anggaran dan tender. Yang menjadi persoalan bila kemudian menteri tidak mampu (mau?) memberikan perhatian dan membiarkan birokrasi berjalan dengan logikanya sendiri. Ada kepentingan lain yang membuat hal sederhana menjadi persoalan yang tampak rumit.

SEA Games sudah berlalu, Asian Games 2018 sudah di depan mata. Tanpa koordinasi dan pengawasan yang ketat, peristiwa yang menimpa Eki Febri Ekawati akan terulang kembali. Karena itu, saya usul rute blusukan Presiden Jokowi ditambah. Tidak hanya proyek infrastruktur, seperti pembangunan wisma atlet atau stadion, tapi juga birokrasi Kementerian Pemuda dan Olahraga.

J. Danang Widoyoko, Mahasiswa PhD Australia National University

-----------------------------

Versi cetak artikel ini terbit di harian Tempo edisi 6 Oktober 2017, dengan judul "Tender dan Prestasi Olahraga"

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan