Polemik Densus Antikorupsi

Wacana pembentukan Densus Antikorupsi oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menimbulkan polemik. Berbagai kalangan mulai dari pegiat antikorupsi, organisasi kemasyarakatan, akademisi hingga Wakil Presiden Jusuf Kalla ramai-ramai menyatakan penolakan.

Polemik bermula ketika rapat kerja antara Komisi III DPR dengan Polri pada 23 Mei 2017. Saat itu para anggota komisi hukum mengusulkan agar Kapolri membuat satuan khusus yang menangani tindak pidana korupsi, yaitu Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Antikorupsi).  Tujuannya untuk mempercepat proses penanganan kasus korupsi yang sering tersendat akibat bolak-balik berkas antara Kepolisian dengan Kejaksaan.

Apalagi selama ini kinerja Bareskrim Polri belum maksimal dalam menangani kasus korupsi. Penyebabnya antara lain keterbatasan anggaran dan kakunya birokrasi. Apabila dibandingkan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), anggaran dan sistem birokrasinya jauh lebih progresif.

Rencananya Densus Antikorupsi mulai bekerja pada awal tahun 2018. Kewenangannya sama seperti KPK, meliputi pencegahan, penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan. Apabila merujuk pernyataan sejumlah anggota DPR, keberadaan Densus Antikorupsi diarahkan untuk mengambil alih tugas KPK. Menurut anggota Fraksi Partai Gerinda Wenny Warouw, KPK merupakan lembaga ad hoc. Jika Polri sudah kuat maka KPK tidak perlu lagi ada. Karena itu, struktur dalam Densus juga menyerupai KPK, terdiri dari perwakilan Kepolisian, Kejaksaan, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan total personil mencapai 3.560 orang.

Rencana pembentukan Densus Antikorupsi mendapat penolakan dari sejumlah kalangan. Mereka menilai lembaga tersebut memiliki banyak masalah dari sisi teknis maupun substansi. Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai saat ini Densus Antikorupsi belum diperlukan mengingat masih adanya persoalan korupsi di tubuh Kepolisian. Selain itu, Satuan ini dikhawatirkan akan menakuti pejabat daerah yang ingin membuat kebijakan dan berdampak pada program pemerintah. Sedangkan Jaksa Agung M. Prasetyo mempertanyakan dasar hukum pembentukan Densus Antikorupsi. Jika merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, wewenang penuntutan ada di wilayah Kejaksaan.

Indonesia Corruption Watch memiliki lima catatan atas wacana pembentukan Densus. Pertama, belum adanya kajian akademik yang bisa diakses oleh publik. Hal ini diperlukan agar menjadi bahan diskusi publik untuk menilai secara objektif urgensi lahirnya Densus Antikorupsi. Kedua, tidak ada payung hukum yang mendasari pembentukan Satuan tersebut. Ketika dasar hukumnya lemah malah akan mengulang sejarah seperti Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) dan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) yang berujung pada pembubaran.

Ketiga, ruang lingkup kerja Densus Antikorupsi. Tidak adanya argumentasi yang jelas perihal fungsi pencegahan yang dimiliki oleh Satuan tersebut. Hal ini akan menjadi berbahaya jika memaknai pencegahan sebagai pemberitahuan kepada pelaku korupsi untuk mengurungkan niatnya, seperti yang disampaikan Jaksa Agung pada saat RDP di Komisi III DPR menanggapi Operasi Tangkap Tangan (OTT) Kejari Pamekasan oleh KPK.

Keempat, kultur organisasi yang berada dalam kendali kekuasaan eksekutif dan legislatif. Tidak akan mungkin Kepolisian menjadi lembaga independen karena wewenang persetujuan calon Kapolri berada di parlemen dan Presiden yang berpeluang masuknya berbagai macam kepentingan politik.

Terakhir, momentum pembentukan Densus Antikorupsi ini berkelindan dengan upaya DPR melemahkan KPK melalui Pansus Angket KPK. Wacana ini perlu dilihat dalam satu bingkai utuh dimana ada kemungkinan politisi Senayan menggunakan momentum ini untuk menunggangi pembentukan Densus yang berpotensi membubarkan KPK.

Oleh karena itu penolakan yang disampaikan oleh banyak pihak perlu dikaji ulang. Penting bagi pemerintah dan Polri untuk mengevaluasi mencari penyebab kegagalan Kepolisian dalam memberantas korupsi. Kalau memang kebutuhan membentuk Densus Antikorupsi sangat mendesak, maka perlu dibatasi kerja-kerjanya yakni untuk menindak korupsi di internal Kepolisian seperti halnya International Best Practices yang selama ini dilakukan oleh banyak negara salah satunya Australia. Organisasi yang dibentuk di Australia untuk memberantas korupsi di tubuh Kepolisian adalah dengan membentuk tim khusus yang dibentuk oleh Kepolisian. Orientasinya adalah perbaikan internal Kepolisian. (Wana/Ade)

Foto: Nusantara.news

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags