Memimpin Penegakan Hukum

Refly Harun
Refly Harun

Segudang keberhasilan dan segudang kegagalan selalu dapat disajikan saat kita mengevaluasi jalannya sebuah pemerintahan. Tak terkecuali pemerintahan Presiden Joko Widodo atau yang lebih dikenal dengan akronim Jokowi.

Ibarat seorang mahasiswa yang harus mengambil tiga mata kuliah wajib, yaitu ekonomi, politik, dan hukum, Presiden Jokowi memperlihatkan minat yang luar biasa pada mata pelajaran ekonomi, khususnya pada pokok bahasan pembangunan infrastruktur. Di tengah lesu darah ekonomi dunia, Jokowi tetap menerjang sana menerjang sini di mata pelajaran ini.

Beragam proyek infrastruktur digenjot pembangunannya dengan gelontoran dana ribuan triliun rupiah, baik bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun sumber lain (luar negeri dan dalam negeri).

Hanya dalam rentang tiga tahun, Pulau Jawa sebentar lagi tersambung jalan tol dari Jakarta hingga Surabaya, bahkan Banyuwangi. Sumatera, yang lalu lintasnya masih sepi, juga ditaburi jalan tol, terutama di bagian utara dan selatan pulau emas itu. Papua dan daerah-daerah perbatasan, yang lama terabaikan oleh pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, dibangunkan jalan nasional.

Untuk mata kuliah ekonomi dengan sub-bahasan infrastruktur, nilai Jokowi tak tertandingi dibandingkan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.

Konsolidasi politik
Di mata pelajaran politik, meski tak seantusias bidang ekonomi, Jokowi sudah mampu mengonsolidasikan kekuatan politik di belakang dirinya. Kini hampir semua partai politik mendukung Jokowi, tinggal menyisakan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai partai oposisi, setidaknya oposisi ala sistem pemerintahan presidensial. Satu partai lagi, Partai Demokrat, tidak berada baik di oposisi maupun pemerintah.

Padahal, ketika beranjak di singgasana kekuasaan pada 20 Oktober 2014, pendukung Jokowi di parlemen (DPR) yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) terbilang minoritas (divided government). Pimpinan di DPR dikuasai Koalisi Merah Putih (KMP), yang saat itu berseberangan dengan Presiden Jokowi. Namun, masuk periode tahun kedua jabatan kepresidenannya (2016), KMP lebur, satu demi satu anggotanya mendekat ke Istana. Tinggal Gerindra dan PKS yang tinggal.

Pada dua pelajaran pertama ini, ekonomi (sub-bahasan pembangunan infrastruktur) dan politik (sub-bahasan konsolidasi politik), Jokowi sukses luar biasa. Nilainya, jika ingin dituliskan, antara delapan atau sembilan. Imajinasi Jokowi dalam pembangunan infrastruktur berkembang luar biasa, sementara kesabaran dan gaya komunikasi yang humble dari Jokowi membuahkan kesuksesan pula dalam hal konsolidasi politik.

Miskin imajinasi
Tiba pada pelajaran hukum, terutama pada sub-bahasan penegakan hukum (law enforcement), imajinasi dan passion itu tidak terlihat. Jokowi kurang menunjukkan geliat dan antusiasme dalam masalah penegakan hukum. Ibarat mahasiswa tadi, Jokowi sekadar mengisi daftar hadir agar tak kena penalti atau dinyatakan tidak lulus karena sering bolos.

Tak seperti di bidang pembangunan konstruksi yang penuh keyakinan dan inovasi, di bidang penegakan hukum, Jokowi terkesan tidak mau turun tangan langsung untuk membereskan masalah, sebagaimana sering ia lakukan ketika mengontrol pembangunan proyek-proyek infrastruktur. Jokowi terkesan pasif dan formalistik.

Ketika terjadi konflik antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) pada awal 2015, banyak yang berharap Jokowi turun ke gelanggang untuk menghentikan upaya pelemahan KPK. Pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ketika terjadi upaya pelemahan KPK dalam kasus Bibit-Chandra, SBY turun dengan membentuk Tim 9 untuk memastikan penanganan kasus tersebut pada jalur yang benar.

Di era Jokowi, ketika satu demi satu pimpinan KPK ditersangkakan sehingga harus diganti, Jokowi seperti berdiam diri. Akibatnya, Ketua KPK Abraham Samad dan anggota KPK, Bambang Widjojanto, diberhentikan dengan tuduhan atau kasus yang sumir. Lagi-lagi pada tahun ini KPK dibidik dan hendak dilemahkan. Pansus Angket KPK diinisiasi dan didorong pembentukannya justru oleh partai-partai pendukung pemerintah. Bahkan, partai pemerintah (the ruling party) menjadi proponen di dalam pansus tersebut.

Sikap formalistik Jokowi tertangkap dari pernyataannya bahwa angket merupakan hak konstitusional DPR dan sebagai presiden dia tidak mau mengintervensi. Padahal, semua tahu, jika memang benar-benar mengontrol partai pendukungnya, terutama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Jokowi harus mampu menghentikan aksi ugal-ugalan sebagian anggota DPR dari partai pendukungnya yang sangat bersemangat menggebuk KPK.

Tidak mau atau tidak mampu
Ada dua hal yang mencuat pada titik ini, apakah Jokowi tidak mau atau tidak mampu mengontrol aksi ugal-ugalan tersebut? Dua-duanya bisa jadi benar. Jokowi tidak mau dan tidak mampu menghentikan arus pelemahan KPK.

Sebagai orang yang berlatar belakang pengusaha, Jokowi kerap mengeluh dengan langkah-langkah aparat penegak hukum yang banyak menersangkakan pejabat-pejabat, termasuk kepala-kepala daerah. Hal tersebut dirasa mengganggu target pembangunan yang disematkan. Itulah sebabnya, Jokowi pernah menyatakan bahwa kebijakan tidak boleh dikriminalisasi.

Saya sepakat dalam titik ini. Kadang penegak hukum memang tidak bisa (atau tidak mau) membedakan antara kebijakan dan niat jahat. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) telah mengamanatkan untuk mengadakan pendekatan administrasi terlebih dahulu terhadap kebijakan yang dianggap menyimpang dan menimbulkan kerugian negara sepanjang memang tidak ada niat untuk melakukan korupsi. Sayangnya, UU ini tidak populer di mata penegak hukum. Aparat penegak hukum, terutama kepolisian dan kejaksaan, lebih menggunakan perspektif pidana untuk menjerat kebijakan yang dianggap merugikan keuangan negara.

Kalaupun titik itu dianggap bermasalah, bukan KPK yang melakukannya. Apa yang dikerjakan KPK terkonfirmasi melalui pengadilan tindak pidana korupsi, bahwa memang pejabat yang ditersangkakan telah melakukan korupsi. Mereka yang bisa lolos dari KPK hanyalah yang menggunakan instrumen praperadilan, yang hakikatnya belum mengecek substansi persoalan korupsinya, melainkan baru sekadar prosedur. Tidak ada alasan sesungguhnya bagi Jokowi untuk tidak mendukung dan melindungi KPK.

Bisa jadi sikap tidak melindungi itu karena Jokowi memang tidak mampu. Sudah jamak diketahui, meski berasal dari rahim PDI-P, Jokowi lebih mirip presiden independen, yang tidak mengontrol secara langsung satu partai pun.

Topangan Jokowi hanyalah pada relawan-relawan yang hingga kini masih terjaga (setidaknya organisasinya) ketimbang partai. Di PDI-P sendiri ada matahari yang lebih terang dari Jokowi. Semua orang tahu itu. Celakanya PDI-P dan matahari PDI-P sepertinya paling getol mensponsori pelemahan KPK.

Integritas penegakan hukum
Lalu, untuk melihat situasi penegakan hukum tiga tahun pemerintahan Jokowi, apa tolok ukur yang bisa dianggap paling obyektif? Menurut saya, kepercayaan kita pada proses penegakan hukum itu sendiri. Apakah proses penegakan hukum telah dilakukan secara berintegritas, itulah soalnya. Pada titik ini, tidak hanya Jokowi, presiden-presiden sebelumnya juga menghadapi kritik yang sama, bahwa hukum tidak ditegakkan sebagaimana adanya.

Sering ada ungkapan, hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Uang dan kekuasaan bisa membeli penegakan hukum. Semua proses penegakan hukum, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penjatuhan vonis, hingga pelembagapemasyarakatan, bisa dibeli. Pesakitan tidak didera efek jera sepanjang uang dan kuasa masih ada.

Tentu semua kesalahan tidak bisa ditimpakan kepada Jokowi seorang. Proses penegakan hukum sejatinya harus bebas dari campur tangan kekuasaan presiden. Lagi pula, tidak semua proses penegakan hukum bisa dikontrol karena institusi yang terlibat tak semuanya di bawah presiden. Polisi dan jaksa serta lembaga pemasyarakatan memang di bawah presiden, tetapi tidak dengan hakim dan pengadilan. KPK pun tidak di bawah presiden.

Formalisme seperti ini bisa dibenarkan kalau penegakan hukum sudah berada pada jalur yang benar (on the right track). Ketika penegakan hukum belum normal, masih penuh mafia, aparat masih bisa dibeli, pengadilan masih penuh transaksi, seorang pemimpin tidak boleh berdiam diri. Tidak boleh pemimpin misalnya membiarkan penyiram mata Novel Baswedan berlalu tanpa hukuman (impunity) jika pengungkapan kasus itu terkendala benteng kekuasaan, di mana pun dia.

Kita rindu Jokowi menjadi pemimpin yang mampu mewujudkan penegakan hukum yang bersih dan berkeadilan dalam dua tahun ke depan, yang mampu dan berani menghadapi mafia-mafia, bahkan di lingkar dekat kekuasaan sekalipun. Itulah sebabnya, kita memilih Jokowi sebagai pemimpin pada 2014, bukan sekadar mengantarkannya ke kursi presiden.

Refly Harun, Ahli Hukum Tata Negara; Ketua Pusat Studi Ketatanegaraan (Pusaran) Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara

Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 24 Oktober 2017

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan