Membongkar Skandal Korupsi e-KTP

Tempo.co
Tempo.co
Setelah kembali menetapkan Ketua DPR, Setya Novanto, sebagai tersangka dalam kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP (10/11/2017), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak langsung bergerak cepat. Lembaga anti-rasuah tersebut harus segera melimpahkan perkara ke pengadilan dan menahan Novanto. 
 
Pengumuman penetapan Setya Novanto sebagai tersangka disampaikan langsung oleh Wakil Ketua KPK Saut Situmorang pada jum’at, 10 November 2017.  Menurut Saut, Novanto disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Ketua Partai Golkar tersebut diduga menguntungkan diri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan dan jabatan, serta turut mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun.
 
Sejak dikalahkan dalam praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhir September lalu, berbagai komponen masyarakat mendesak agar KPK kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka. Selain karena banyak kejanggalan dalam pertimbangan yang digunakan hakim untuk memenangkan Setya Novanto, juga pada dasarnya putusan praperadilan tidak menghilangkan perbuatan pidana yang disangkakan. 
 
Apalagi dugaan keterlibatan Setya Novanto dalam kasus korupsi e-KTP sudah sangat terang benderang. Berdasarkan catatan Kompas, setidaknya ada 13 fakta dalam persidangan yang menjelaskan peran Novanto. Di antaranya mantan Dirjen Dukcapil Irman menyebut, Andi Narogong pernah mengatakan bahwa kunci penentu anggaran proyek e-KTP bukanlah Komisi II DPR, melainkan Setya Novanto dan Setya Novanto disebut mendapat bagian 7 persen dalam proyek pengadaan e-KTP.
 
Karena itu, ketika KPK menetapkan kembali Setya Novanto sebagai tersangka masyarakat menyambut gembira. Paling tidak menunjukan bahwa KPK tidak lumpuh dan tetap memiliki keberanian meski terus ditekan dari segala penjuru, termasuk kriminalisasi terhadap pimpinan. Secara tidak langsung, KPK memperlihatkan kepada masyarakat bahwa mereka masih bisa dijadikan sebagai harapan, di tengah korupsi yang makin marak dan krisis kepercayaan kepada aparat penegak hukum.
 
Dari sisi substansi kasus, penetapan Setya Novanto sebagai tersangka juga merupakan langkah penting dalam upaya membongkar dan menuntaskan mega-korupsi e-KTP. Sebab berdasarkan fakta persidangan, Novanto memainkan peran yang sangat vital dalam proses perencanaan anggaran dan penentuan pemenang proyek. 
 
Walau mengaku sudah mengantongi dua alat bukti, tapi KPK tetap harus berhati-hati dan  belajar dari pengalaman sebelumnya. Jangan sampai langkah mereka kandas lagi di sidang praperadilan. Karena sudah hampir pasti Setya Novanto dan kuasa hukumnya akan mengajukan kembali praperadilan. 
 
Tidak ada jalan lain bagi KPK selain mempercepat langkah untuk membongkar skandal korupsi e-KTP. Paling tidak ada dua cara yang bisa dipakai. Pertama, segera melimpahkan perkara ke pengadilan.  Menurut pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD, dengan segera melimpahkan kasus ke pengadilan Tipikor, maka tak ada waktu lagi bagi Novanto untuk mengajukan praperadilan kembali. Berdasarkan aturan, tersangka tidak bisa mengajukan praperadilan jika kasus sudah dilimpahkan ke pengadilan. Karena sudah masuk ke pokok perkara, bukan prosedur lagi.
 
Kedua, secepatnya menahan Setya Novanto. Tujuannya untuk mengantisipasi penghilangan alat bukti. Apalagi sebelumnya sudah ada upaya untuk menghapus jejaknya dalam kasus e-KTP. Berdasar fakta persidangan Novanto pernah memerintahkan Diah Anggraini (Mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri - saksi sidang E-KTP) untuk menyampaikan pesan kepada Irman agar mengaku tidak mengenal Novanto ketika ditanya oleh penyidik KPK.
 
Pada sisi lain, Novanto pun tidak kooperatif. Berbagai alasan digunakan guna menghindar dari panggilan para penyidik KPK.  Mulai dari sedang reses, berada di daerah pemilihan (dapil), hingga meminta surat persetujuan dari presiden. Paling fenomenal adalah terserang berbagai penyakit seperti vertigo, penurunan fungsi ginjal, hingga jantung ketika menetapkannya sebagai tersangka untuk pertama kali. 
 
KPK harus belajar dari pengalaman sebelumnya. Para tersangka korupsi kerap melakukan berbagai manuver untuk menghindar dari proses hukum. Jika tidak bergerak cepat, bukan tidak mungkin serangan akan makin kencang dan KPK kembali terjegal. (Ade)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan