”Paradise Papers” dan Perpajakan

Sejak 6 November 2017, pengungkapan praktik-praktik penghindaran dan pengelakan pajak yang terhimpun dalam ”Paradise Papers” mengisi laman situs International Consortium of Investigative Journalists.

Fokus perhatian masyarakat internasional tertuju pada tokoh-tokoh dunia dan perusahaan multinasional yang diduga terlibat dalam skema-skema yang disusun oleh sebuah firma hukum terkemuka berbasis di Bermuda untuk mengurangi beban pajak yang terutang.

Tiga indikasi kerapuhan sistem
Meski demikian, International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) tidak dapat memastikan bahwa tokoh-tokoh yang diungkap pada ICIJ Offshore Leaks Database telah berbuat curang atau bahkan melanggar hukum. Terlepas dari proses hukum yang akan dilakukan negara-negara terhadap para tokoh dan perusahaan multinasional yang terungkap dalam Paradise Papers, ada tiga indikasi kerapuhan sistem perpajakan yang perlu diantisipasi oleh para pembuat kebijakan di bidang perpajakan.

Pertama, penghindaran dan pengelakan pajak tidak hanya dilakukan untuk mengurangi beban pajak langsung, seperti Pajak Penghasilan (PPh), tetapi juga pajak tidak langsung, terutama Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Dalam artikel ”Habits of the Rich”, reporter ICIJ, Ryan Chittum dan Juliette Garside, melaporkan berita tentang seorang pebalap ternama dunia yang diduga memperoleh restitusi PPN sebesar 5,2 juta dollar AS untuk pembelian pesawat jet pribadi bernilai 27 juta dollar AS dari luar Uni Eropa (UE) dengan cara mengimpor pesawat tersebut ke wilayah Isle of Man (IOM) melalui sebuah perusahaan cangkang. Secara teknis, perusahaan cangkang yang tidak memiliki aktivitas itu melakukan importasi dari perusahaan terafiliasi yang didirikan di British Virgin Islands melalui perjanjian sewa-menyewa (leasing).

Hukum yang berlaku di IOM memberi keleluasaan bagi otoritas pajak untuk memberikan restitusi PPN atas importasi barang berdasarkan pertimbangan tertentu (Section 37 VAT Act 1996). IOM juga memiliki perjanjian di bidang kepabeanan dan PPN dengan UE (www.gov.im), khususnya terkait customs union. Kedua kerangka hukum ini memungkinkan PPN yang telah dikenakan berdasarkan tarif normal 20 persen (Section 2A VAT Act 1996) dikembalikan dan kewajiban PPN yang terutang dari importasi pesawat tersebut dianggap telah terpenuhi di seluruh wilayah UE.

Kedua, domisili fiskal yang menjadi dasar bagi suatu yurisdiksi untuk menerapkan kewajiban pajak penuh (full tax liability) terhadap seorang wajib pajak terbukti dapat menjadi celah untuk melakukan pengelakan pajak, khususnya PPh. Dalam sistem pemungutan PPh, domisili fiskal sebuah wajib pajak badan ditentukan berdasarkan tempat didirikannya perusahaan (place of incorporation, seperti yang diterapkan di Amerika Serikat) atau tempat kedudukan manajemen efektif (place of effective management, seperti yang diterapkan di Irlandia).

Pada artikel berjudul ”Sensitive Deals”, reporter ICIJ, Simon Bowers, mengangkat berita tentang perusahaan teknologi multinasional X Inc yang diduga melakukan pengelakan pajak dengan cara menghilangkan domisili fiskalnya sehingga tidak memiliki kewajiban pajak di negara mana pun.

Berdasarkan laporan itu diketahui bahwa X Incmenginkorporasikan tiga anak perusahaannya di Irlandia dan memiliki tempat kedudukan manajemen efektif di kantor pusatnya di California. Hasilnya, akumulasi pendapatan sebesar 137 miliar dollar AS yang dicatatkan oleh ketiga anak perusahaan tersebut tidak dikenai pajak di negara mana pun. Pada tahun 2014, dua dari tiga anak perusahaan tersebut selanjutnya memindahkan domisili fiskalnya ke Jersey. Hasilnya, keuntungan yang dicatat oleh entitas di Irlandia, sebagai entitas yang melakukan penjualan di seluruh wilayah Eropa, dapat diteruskan ke entitas di Jersey yang memiliki tarif PPh badan nol persen (www.gov.je).

Apabila laporan ini digabungkan dengan hasil public hearing Senat Amerika Serikat pada 21 Mei 2013 (Offshore Profit Shifting and the US Tax Code—Part 2) dan temuan Komisi Eropa yang dipublikasikan pada 30 Agustus 2016 (press release IP16/2923), skema penghindaran dan pengelakan pajak yang dilakukan oleh X Inc tidak dapat dilepaskan dari dua ketetapan pajak (tax ruling) yang diterbitkan oleh otoritas pajak Irlandia. Dalam salah satu tax ruling tersebut, otoritas pajak Irlandia menyetujui skema yang memungkinkan X Incmembayar pajak dengan tarif efektif 0,005 persen dari total pendapatannya pada 2014.

Komisi Eropa mengklasifikasikan tax ruling tersebut sebagai bantuan ilegal (illegal state aid) karena hanya berlaku bagi entitas tertentu. Akibat bantuan ilegal yang dilakukannya, Irlandia diwajibkan oleh Komisi Eropa untuk menagih pajak yang terutang sebesar € 13 juta dollar AS ditambah dengan bunga.

Ketiga, selain laba usaha, perusahaan multinasional juga mengurangi beban pajaknya dengan cara memproteksi aset tidak berwujud (intangible asset) dari pengenaan PPh. Proteksi ini dilakukan dengan mengalokasikan kepemilikan hak kekayaan intelektual kepada entitas yang berdomisili di negara yang memberikan konsesi PPh untuk royalti. Masih dalam artikel yang mengupas praktik penghindaran dan pengelakan pajak yang dilakukan oleh X Inc, Simon Bowers mengungkapkan bahwa X Inctelah menjual kepemilikan intangible asset-nya dari entitas yang berdomisili di Jersey ke entitas yang berdomisili di Irlandia dalam rangka memanfaatkan insentif pajak yang diumumkan oleh otoritas pajak di Irlandia pada tahun 2014.

Insentif tersebut membebaskan pembelian intangible asset dari pengenaan PPh atas keuntungan karena pengalihan harta (capital gain) dan memberikan capital allowance untuk biaya yang dikeluarkan untuk pembelian aset tersebut (Section 291A of the Taxes Consolidation Act 1997). Nilai intangible asset yang dialihkan oleh X Inc dilaporkan lebih dari 200 miliar dollar AS sehingga jumlah modal yang masuk ke Irlandia pada tahun tersebut mencapai 270 miliar dollar AS. Jumlah ini mengangkat produk domestik bruto negara itu hingga 26 persen.

Pada artikelnya yang lain berjudul ”Tax Maneuver”, Simon Bowers mengulas berita mengenai salah satu perusahaan sepatu olahraga ternama yang menempatkan kepemilikan merek logonya di entitas terafiliasi yang berlokasi di Bermuda, wilayah tidak berdaulat di Samudra Atlantik, yang hingga tahun 2017 tidak memiliki rezim PPh badan (Deloitte TTL: 2017). Skema ini juga melibatkan entitas penjualan yang memiliki domisili fiskal di Belanda. Entitas inilah yang melakukan penjualan dan memperoleh pendapatan dari seluruh wilayah Eropa. Perlu diketahui bahwa Belanda tidak memotong PPh atas royalti yang dibayarkan dari sana (Deloitte TTL: 2017).

Melalui skema ini, seluruh royalti yang diterima entitas di Belanda dapat langsung diteruskan kepada entitas pemegang merek di Bermuda. Hasilnya, laba yang terpupuk di Bermuda hingga Juni 2014 mencapai 6 miliar dollar AS. Perusahaan multinasional tersebut juga dilaporkan terus mendapatkan perlakuan pajak serupa dengan cara mendirikan sebuah CV (commanditaire vennootschap) di Belanda, yang memiliki sekutu di Bermuda. Sebelum 2016, PPh dikenakan terhadap orang pribadi yang menjadi sekutu dari sebuah CV (PWC Netherlands: 2016).

Komitmen global
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa praktik penghindaran dan pengelakan pajak justru disebabkan pelaksanaan kedaulatan pajak (tax sovereignty) yang melampaui batas. Keleluasaan pemungutan pajak yang didelegasikan oleh peraturan perundang-undangan seyogianya digunakan secara cermat dan penuh integritas untuk menegakkan hukum pajak, dan bukan untuk mendukung penghindaran dan pengelakan pajak yang dilakukan para pemodal besar.

Sementara itu, kekuasaan untuk membentuk legislasi pajak sepatutnya digunakan untuk mempromosikan pemerataan kemakmuran di seluruh negara di dunia, dan bukan untuk menciptakan kompetisi yang tidak sehat demi memenuhi kebutuhan anggaran dalam negeri semata. Kerapuhan sistem perpajakan internasional sebagaimana tecermin dalam skema-skema penghindaran pajak di atas sesungguhnya telah banyak diantisipasi dalam kerangka kerja sama global di bidang pertukaran informasi untuk kepentingan perpajakan dan proyek base erosion and profit shifting.

Meski demikian, apabila narasi yang didengungkan oleh negara-negara G-20 ini tidak diikuti dengan komitmen untuk mengakhiri penghindaran dan pengelakan pajak, pengungkapan Panama Papers pada tahun 2016 dan Paradise Paperspada tahun ini hanya akan menjadi bagian dari rangkaian pembocoran informasi kejahatan pajak pada tahun-tahun selanjutnya.

Adrianto Dwi Nugroho, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada; Mahasiswa Doktoral di University of Helsinki, Finlandia

Tulisan ini disalin dari Kompas, 14 November 2017

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan