Penahanan Setya Novanto Sudah Sesuai Aturan

Foto: Tribunnews.com
Foto: Tribunnews.com

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menahan Ketua DPR RI, Setya Novanto (SN) di rumah tahanan KPK pada 19 November 2017, tengah malam. Penahanan ini dilakukan setelah sebelumnya SN sempat dibantarkan (ditunda penahanannya) akibat kecelakaan yang dialami di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.

Selepas menjalani serangkaian pemeriksaan, tim dokter KPK, dokter RSCM, serta Ikatan Dokter Indonesia (IDI), menyatakan SN tidak memerlukan perawatan inap lagi. Sehingga pembantarannya dapat dihentikan. Setidaknya SN akan ditahan selama 20 hari, terhitung mulai 17 November sampai 6 Desember 2017.

Penahanan yang dilakukan kepada SN oleh KPK sudah sepatutnya dilakukan. Setidaknya ada 2 alasan, yaitu, pertama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pasal 21 ayat 1 disebutkan bahwa, “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.

Sangat jelas dalam pasal di atas, penyidik memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan apabila tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri, merusakkan, atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.

Jika melihat riwayat SN yang cenderung kurang kooperatif dalam proses pengusutan kasus korupsi KTP Elektronik, baik ketika menjadi saksi maupun tersangka, maka sudah sepatutnya KPK melakukan penahanan, dengan demikian diharapkan proses pengusutan korupsi KTP Elektronik akan berjalan lebih cepat.

Kedua, masih dalam aturan yang sama, pasal 21 ayat 4 juga menjelaskan bahwa, “Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih”.

Mengingat pasal yang disangkakan pada SN, yaitu pasal 2 Ayat 1 subsider pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Kedua pasal tersebut mencantumkan ancaman minimal satu tahun dan maksimal dua puluh tahun penjara. Sehingga penahanan SN juga sudah sesuai dengan pasal 21 ayat 4 karena ancaman pidana dari tindak pidana yang disangkakan melebihi lima tahun penjara.

Dalam masa penahanan yang singkat ini, KPK perlu memperhitungkan kemungkinan penerapan Undang-Undang tindak Pidana Pencucian Uang, termasuk mempersiapkan praperadilan yang sedang diajukan oleh SN. (Tari)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan