Senja Kala Pengungkap Korupsi

Hasil riset Transparency International Indonesia (2017) menyebutkan bahwa selama lebih dari satu dekade terakhir, intensitas dan kualitas serangan balik terhadap para pengungkap korupsi semakin sistematis.

Masyarakat yang berperan dalam pemberantasan korupsi, baik posisinya sebagai pelapor, saksi, maupun akademisi, sering kali mendapatkan ancaman, penganiayaan, pembunuhan, hingga serangan balik melalui penggunaan instrumen pelaporan pidana. Sebutlah seperti pencemaran nama baik, penghinaan, ataupun melalui kasus-kasus yang direproduksi sedemikian rupa.

Fakta ini secara tidak langsung memberikan pesan bahwa keterlibatan masyarakat dalam pemberantasan korupsi sedang berada di titik nadir. Padahal, dalam banyak kasus, korupsi yang diungkap penegak hukum (khususnya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK) berasal dari informasi dan pengaduan masyarakat.

Dari sisi yang lain, agaknya pola-pola ancaman dan serangan tersebut juga telah diarahkan kepada penegak hukum, khususnya KPK. Ada pimpinan KPK/penyidik/penuntut/pegawai yang dikriminalisasi, ditabrak, dibuntuti, diancam, bahkan disiram dengan air keras.

Sistem proteksi
Tindakan pembalasan dengan segala bentuknya itu mengafirmasi dampak korupsi sebagai kejahatan yang terorganisasi (organized crime). Dalam kasus-kasus tertentu dengan risiko politik, sosial, ekonomi, dan hukum yang tinggi, bisa dipastikan tindakan pembalasan juga akan semakin terbuka.

Hal inilah yang kemudian mengilhami munculnya sistem proteksi/perlindungan yang diberikan negara kepada masyarakat yang terlibat dalam pemberantasan korupsi. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dalam satu bab khusus mengatur tentang bagaimana peran serta masyarakat serta sistem perlindungan yang wajib diberikan oleh penegak hukum (Pasal 41 dan Pasal 42). Secara garis besar, sistem perlindungan tersebut meliputi perlindungan untuk mendapatkan informasi dan melaporkan kasus korupsi, serta memperoleh perlindungan hukum.

Pada 2016 muncul aturan dan lembaga baru yang khusus memberikan perlindungan terhadap pelapor, saksi, korban, dan pihak lain yang terlibat dalam suatu tindak pidana, termasuk dalam tindak pidana korupsi. UU No 13/2006 jo UU No 31/2014 membentuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang diberikan tanggung jawab untuk menangani perlindungan tersebut. Bahkan, undang-undang memberikan intensi yang cukup kuat terhadap kejahatan transnasional dan terorganisasi.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secara regulasi telah cukup mengatur sistem perlindungan. Sementara dari sisi kelembagaan juga ada begitu banyak lembaga yang ditugaskan untuk melindungi masyarakat yang terlibat dalam penanganan tindak korupsi.

Maka, jika menggunakan basis UU Tipikor, semua lembaga penegak hukum yang mengusut kasus korupsi wajib memberikan perlindungan, yaitu KPK, kepolisian, kejaksaan, dan hakim di pengadilan, sesuai kewenangan masing-masing. Ditambah lagi dengan keberadaan LPSK, sebagai mitra dari seluruh penegak hukum dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat.

Inkonsistensi
Lalu, muncul pertanyaan reflektif, mengapa ancaman, serangan, dan tindakan balasan lain masih saja terjadi terhadap mereka yang terlibat dalam pemberantasan korupsi?

Faktanya, dalam beberapa kasus yang terjadi terhadap para pelapor/saksi tindak pidana korupsi, mereka dihadapkan pada pelaporan balik dan diproses secara hukum hingga diputus oleh pengadilan. Padahal, ada klausul bahwa seseorang tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata, atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.

Kalaupun muncul tuntutan hukum, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 10 UU No 31/2014). Sebaliknya, kasus korupsi yang dilaporkan tidak pernah selesai, tetapi kasus laporan balik justru diproses oleh penegak hukum (penyidik, penuntut, hakim).

Tidak berhenti sampai di situ, di sisi lain pelaporan balik oleh pihak tertentu juga digunakan untuk menyandera status hukum seseorang. Misalnya yang terjadi terhadap beberapa aktivis antikorupsi, aktivis lingkungan, dan aktivis hak asasi manusia yang menyandang status tersangka sampai hari ini. Maka, muncul kesan bahwa penegak hukum justru menjadi bagian dari alat untuk menyebarkan ketakutan dan rasa tidak aman terhadap masyarakat yang aktif dalam pemberantasan korupsi.

Selain itu, dari sisi penegak hukum—khususnya KPK—juga mengalami tindakan pembalasan, baik dalam bentuk pelaporan balik maupun menjadi korban tindakan kriminal, seperti penganiayaan, pembunuhan, ataupun ancaman lainnya. Hal ini bukan tidak mungkin juga akan terjadi terhadap penegak hukum lain yang menangani kasus korupsi, seperti polisi, jaksa, dan hakim.

Rekomendasi
Untuk mengatasi persoalan tersebut, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, KPK, polisi, jaksa, hakim, dan LPSK perlu membuat kesepakatan dan standar yang sama tentang bagaimana mekanisme dan kriteria untuk melindungi masyarakat dari tindakan kriminal ataupun perlawanan hukum sebagai akibat dari aktivitasnya melawan korupsi. Kesepakatan dan standar itu harus dituangkan dalam aturan-aturan yang lebih operasional dan mengikat di internal lembaga masing-masing. Hal ini tak lain untuk memastikan bahwa kesepakatan antarlembaga ini tidak hanya berhenti dalam bentuk MOU atau kesepakatan saja, tetapi memang ditindaklanjuti melalui regulasi teknis yang dipatuhi hingga ke tingkat paling bawah.

Kedua, untuk kepentingan jangka pendek, kasus-kasus kriminalisasi segera dihentikan dan kasus-kasus pidana, seperti penganiayaan yang menimpa masyarakat dan penegak hukum, segera diselesaikan.

Ketiga, KPK, polisi, jaksa, hakim, dan LPSK perlu merumuskan instrumen perlindungan secara preventif terhadap penyidik, penuntut, hakim ataupun personel yang terlibat dalam penanganan dan perlindungan dalam kasus korupsi.

Perbaikan sistem proteksi di internal lembaga yang berpedoman pada undang-undang akan berdampak secara langsung terhadap perlindungan kepada masyarakat yang terlibat dalam pemberantasan korupsi.

Reza Syawawi Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia

Tulisan ini disalin dari Kompas, 4 Januari 2018

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan