Hukum Butuh Moralitas dan Keteladanan

Foto: Dok.ICW - Prof. Dr. Hibnu Nugroho, Guru Besar Hukum
Foto: Dok.ICW - Prof. Dr. Hibnu Nugroho, Guru Besar Hukum

Prof. Dr. Hibnu Nugroho adalah seorang guru besar bagian hukum acara pidana yang punya kepedulian terhadap agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam acara pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar, Hibnu menyampaikan orasi mengenai upaya percepatan tindak pidana korupsi di Indonesia. Orasi ilmiah tersebut menyebutkan bahwa tahapan penyidikan dalam rangkaian proses penegakan hukum merupakan ujung tombak keberhasilan atau bahkan kehancuran proses selanjutnya. Sedangkan upaya percepatannya yaitu pemberlakuan hukum acara pidana khusus (lex specialist) bagi KPK, integralisasi penyidikan Tipikor, dan optimalisasi penerapan ketentuan tindak pidana pencucian uang dalam Tipikor.

Hibnu adalah salah satu dari 398 Guru Besar Antikorupsi yang mengirimkan surat ke Presiden Joko Widodo agar KPK tidak dilemahkan. Hibnu juga menjadi penulis buku Bunga Rampai Guru Besar Antikorupsi tentang Penolakan Pelemahan KPK yang diterbitkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Kurnia Ramadhana dan Tibiko Zabar berkesempatan melakukan wawancara dengan Hibnu pada 22 Agustus 2017 lalu membahas beberapa isu mulai dari hak angket, penyelesaian kasus Novel Baswedan, moralitas hukum, hingga berbagai hal mengenai korupsi proyek E-KTP.

Bagaimana pendapat Prof Hibnu mengenai DPR yang menjadikan KPK sebagai objek hak angket?

Angket dasarnya kewenangan politik dewan. Masalahnya sekarang substansinya melebar kemana-mana. Tidak fokus ke Miryam tetapi sebagai evaluasi kerja KPK. Tidak ada lembaga yang sempurna harus kita akui itu, kalaupun ada kekeliruan yang harus diluruskan. Tidak boleh masuk ke hal substansi yang mengganggu kinerja. Teknis mekanisme yang disorot harus kita benahi, karena KPK milik kita semua sebagai ujung tombak Negara memberantas korupsi. Jangan sampai kedepannya KPK lemah, ini yang kita takutkan.

Melihat metode penyelidikan oleh DPR terkait hak angket, bagaimana penyelidikan yang ideal?

Tindakan menyelidik bertujuan untuk mengumpulkan barang bukti, yaitu bahan yang harus diklarifikasi dengan bahan lain yang mempunyai suatu nilai. Suatu nilai bukti didasarkan pada bagaimana cara memperolehnya. Kemudian apakah nilai tersebut berkaitan atau tidak. Kalau tidak berkaitan, tidak punya nilai. Contoh keterangan dari orang yang terkena masalah hukum (terpidana korupsi), dia akan mencari keterangan untuk membela dirinya sendiri.

Sebaiknya apa yang dilakukan untuk menyelesaikan kasus Novel?

Dalam manajemen penyidikan Polri, ada suatu klasifikasi perkara dari ringan hingga sulit. Perkara sulit rata-rata membutuhkan 90 hari, kalau melebihi harus dibuka bersama karena butuh dukungan pihak lain. Jangan hanya dibatasi penyidik Polri dan KPK, perlu juga dibuka dengan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang mempunyai satu semangat yang sama. Jangan sampai jiwa gotong royong ditakuti, siapapun yang mempunyai kapabilitas sebagai penyidik silahkan diikutkan. Dalam masalah sosial 1 + 1 bisa jadi 3 karena ada kekuatan-kekuatan lain.

Bagaimana Pollitical will Presiden dalam kasus Novel?

Masalah hukum tidak bisa hanya untuk hukum. Harus ada dukungan lain terutama politik, Presiden sudah cukup bagus menindaklanjuti. Tetapi harusnya tidak ada yang perlu ditutupi karena eranya demokrasi. Permasalahan ini jangan seperti kasus Munir yang mati tetapi aktornya belum tahu siapa, jangan sampai ada Munir kedua.

Kalau kasus EKTP, bagaimana menurut Prof?

Kita semua kena getahnya termasuk KTP saya sudah mati, kan berarti secara legal sudah tidak berlaku, cuma Mendagri memberikan kebijakan bisa berlaku seumur hidup. Proyek yang dikorupsi harus dibuka aktor intelektualnya, kecerdikan KPK sangat diuji bagaimana membentuk dakwaan dan saksi untuk mengerucut pada satu nama. Kalau salah strategi fatal, yang di dalam sidang saja bisa hilang apalagi bukti yang di luar.

Apakah sebuah hal yang biasa, nama yang disebut dalam dakwaan hilang dalam putusan?

Harusnya tidak bisa hilang, bisa hilang kalau tidak ada suatu bukti dan arah ke nama tersebut. Harus diselidiki apakah ada faktor kesengajaan atau tidak. Semua pihak harus ikut mengawasi mengenai nama yang hilang tersebut. Dari akademisi bisa dijadikan eksaminasi.

Bagaimana pandangan Prof tentang praperadilan yang diajukan tersangka?

Pengadilan kita mudah-mudahan sudah on the track. KPK harus belajar dari kekalahan BG dan HP, dan menjadikan KPK menyiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi persidangan. Walaupun kekalahan kemarin karena lagi booming praperadilan dan pandangan hakim berbeda-beda atau belum on the track, harus kita awasi dan dorongan supaya tidak melenceng. Putusan hakim harus berdasar norma hukum dan aspek yuridis yang ada. Ketika pengadilan sudah on the track, KPK harus menyiapkan strategi terbaik. Tersangka pasti menyiapkan rencana terbaik untuk bisa menghindar dan mematahkan dakwaan. Kelengahan tim penyidik menjadi taruhan, oleh karenanya jangan sampai lengah sedikit pun.

Apa yang harus dikedepankan pejabat publik yang menjadi tersangka, bagaimana menurut peraturan UU dan moralitas?

Krisis etis terjadi di Indonesia. Kalau pimpinan sudah tidak punya moralitas, bagaimana dengan bawahannya? Hukum tidak hanya UU saja tetapi juga keteladanan. Bagaimana bisa ketika seorang yang terhormat tetapi juga menjadi tersangka? Jangan hanya ucapan, tetapi perilaku sehari-hari juga harus jadi panutan.  

Pewancara: Tibiko Zabar dan Kurnia Ramadhana

Penulis: Apta Widodo

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags