Penangkapan FY Bukan Serangan Terhadap Profesi Advokat

- Apa yang dilakukan oleh KPK harus dipandang sebagai upaya bersih-bersih oknum advokat nakal yang selama ini juga menodai citra officium nobile -
Foto: Dok.ICW
Foto: Dok.ICW
Usai mengundurkan diri sebagai kuasa hukum tersangka korupsi KTP-El Setya Novanto, Friedrich Yunadi (FY) ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena diduga melakukan penghalang-halangan proses hukum perkara korupsi. Penetapan FY sebagai tersangka, kembali mencoreng citra profesi advokat yang disebut sebagai officium nobile atau pekerjaan yang terhormat.
 
Advokat di tengah pusaran perkara korupsi memang bukan cerita baru. Berdasarkan catatan ICW, sejak 2005 paling tidak ada 22 orang, termasuk FY, yang pernah dijerat menggunakan UU Tpikor. Ada 16 (enam belas) advokat yang dijerat karena melakukan suap menyuap, 2 (dua) dijerat karena memberikan keterangan secara tidak benar, dan 4 (empat) orang karena menghalang-halangi penyidikan perkara korupsi. Kasus yang melibatkan 22 advokat tersebut mayoritas ditangani oleh KPK (16 orang) selebihnya ditangani oleh Kejaksaan (5 orang) dan Kepolisian (1 orang). (Daftar terlampir)
 
Publik tentu masih ingat ketika beberapa advokat seperti Haposan Hutagalung, Kasman Sangaji, dan Samsuk menyuap hakim maupun panitera demi menegosiasikan hukuman terhadap kliennya. Sepintas lalu, perbuatan ini seolah-olah dilakukan demi kepentingan klien, padahal suap-menyuap sendiri sudah merupakan tindak pidana, terlepas dari siapa yang memberikan suap.
 
Perbuatan pidana seperti yang diduga dilakukan oleh FY tentu tidak dapat dipandang sebagai serangan secara personal terhadap profesi advokat maupun organisasi yang menanungi kerja-kerja advokat seperti Peradi, Ikadin, IPHI, maupun AAI. Hal ini dikarenakan, perilaku advokat sendiri sudah diatur secara proporsional dalam Kode Etik Advokat Indonesia.
 
Pembelaan dan pendampingan yang dilakukan terhadap klien tidak berarti advokat juga turut mengurusi hal-hal yang tidak berkaitan dengan proses dan upaya hukun yang sedang atau akan ditempuh. Artinya, perbuatan-perbuatan seperti melakukan suap-menyuap, mengurusi pemesanan kamar rumah sakit, ataupun melakukan komunikasi dengan panitera atau hakim dengan maksud untuk tawar- menawar hukuman, tidak dapat dibenarkan meskipun dilakukan atas nama klien.
 
Pertanyaan kritis yang muncul kemudian adalah, seberapa jauh advokat memiliki imunitas dalam menjalankan profesinya? Pasal 7 huruf g Kode Etik Advokat Indonesia menyebutkan bahwa seorang advokat memiliki hak imunitas hukum baik secara pidana maupun perdata atas pernyataan-pernyataan yang dikemukakan dalam sidang pengadilan dalam rangka pembelaan yang menjadi tanggung jawabnya yang dikemukakan secara proporsional dan tidak berkelebihan.
 
Memang tidak ada definisi yang jelas tentang apa yang disebut dengan proporsional dan tidak berkelebihan. Namun, pasal-pasal lain yang mengatur perilaku dan kepribadian advokat cukup definitif untuk mengakomodasi batasan frasa “secara proporsional dan tidak berkelebihan”. Dengan demikian, tidak ada toleransi bagi perbuatan pidana yang dilakukan oleh advokat, terutama jika sudah jelas-jelas melanggar etika profesi, untuk dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang mendapat imunitas hukum.
 
Lebih jauh lagi, penetapan tersangka FY oleh KPK menjadi penanda keras bagi pihak-pihak yang bermaksud untuk membantu tersangka atau terdakwa korupsi dalam merintangi proses hukum. Artinya, semua pihak harus kooperatif dengan aparat penegak hukum, manakala bersinggungan dengan tersangka korupsi.
 
Di sisi lain, KPK atau aparat penegak hukum lain juga perlu membangun komunikasi dan koordinasi dengan organisasi profesi advokat, agar terbentuk kesepahaman dan sinergisitas dalam upaya pemberantasan korupsi. Sehingga ke depannya, organisasi advokat juga dapat memberikan dukungan yang lebih kuat untuk upaya pemberantasan korupsi. Apa yang dilakukan ikeh KPK harus dipandang sebagai upaya bersih-bersih oknum advokat nakal yang selama ini juga menodai citra officium nobile.
 
Untuk itu kami mendorong agar:
 
1. KPK menindak pihak-pihak lain yang diduga turut melakukan upaya menghalang-halangi proses hukum perkara korupsi;
 
2. Membangun komunikasi yang lebih kuat dengan berbagai organisasi profesi, termasuk profesi advokat, untuk memperkuat koordinasi dan sinergisitas
 
Jakarta, 14 Januari 2018
 
Indonesia Corruption Watch, Persatuan Bantuan Hukum Indonesia

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags