Terbukanya Rahasia Bank

Tamat sudah era kerahasiaan bank saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1/2017 disahkan menjadi UU Nomor 9/2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, pada 23 Agustus 2017. Bagaimana bank harus menyikapi aturan anyar itu?

Lahirnya UU tersebut terkait dengan perjanjian pertukaran informasi keuangan otomatis atau automatic exchange of financial account information (AEoFAI) yang didukung sepenuhnya oleh negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), termasuk Indonesia.

Secara ringkas, UU itu bertujuan menyediakan jalan tol kepada Kementerian Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP), untuk mengintip data dan informasi nasabah bank, pasar modal, serta perasuransian. Hal itu termasuk pula lembaga jasa keuangan lain dan/atau entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional perpajakan.

Dengan bahasa lebih bening, DJP tidak perlu lagi minta persetujuan menteri keuangan dan pihak lain, seperti Bank Indonesia (BI), untuk memperoleh akses data dan informasi nasabah di industri keuangan. Sebelumnya, dan sesuai Pasal 41 UU No 7/1992 tentang Perbankan, “Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberi keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis serta surat-surat tentang keadaan keuangan Nasabah Penyimpan tertentu kepada pejabat pajak”.

Hal itu dipertegas pada Pasal 42A yang menitahkan “Bank wajib memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42”.

Bagaimana hasil penerimaan pajak sepanjang 2017? Sampai akhir 2017, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 1.339,8 triliun atau 91 persen. Warta yang menyejukkan. Kalau tak mempertimbangkan hasil program Pengampunan Pajak, penerimaan pajak 2017 tumbuh 12,6 persen dibandingkan dengan 2016. Ini penerimaan pajak tertinggi selama 3 tahun terakhir. Pada 2015, penerimaan pajak hanya tumbuh 8,2 persen dengan pencapaian 83,3 persen. Pada 2016, dengan Pengampunan Pajak, juga cuma tumbuh 3,6 persen dengan pencapaian 83,5 persen.

Aneka langkah strategis
Lantas, langkah strategis apa saja yang patut diambil?

Pertama, bank mau tak mau wajib melakukan sosialisasi dan edukasi kepada nasabah plus investor. Prioritas pertama untuk nasabah prima (prime customers), yakni nasabah korporasi, menengah, nasabah tajir perorangan, seperti wealth management.

Langkah itu layak dilakukan mengingat nasabah jenis itu menjadi tulang punggung dana dan kredit perbankan. Lantaran bank berfungsi sebagai intermediasi keuangan (financial intermediary) antara nasabah yang memiliki dana dan yang membutuhkan kredit. Sosialisasi dan edukasi diharapkan sanggup menekan berbagai resistensi berupa kekhawatiran dan ketakutan.

Tentu saja, bank merasa cemas jangan-jangan nasabah akan lari ke lain hati alias hengkang ke luar negeri. Namun, bila negeri itu sudah “meratifikasi” perjanjian pertukaran informasi keuangan (AEoFAI), tidak akan ada masalah. Artinya, percuma nasabah lari ke luar negeri. Namun, apakah hal itu perlu dikhawatirkan? Selama ini boleh dikatakan hampir tak ada nasabah prima bank yang lari ke luar negeri terkait program Pengampunan Pajak yang berakhir Maret 2017. Dengan bahasa lebih lugas, nasabah bank tak perlu risau dengan keterbukaan rahasia bank jika memang tak memiliki masalah.

Kedua, dalam sosialisasi dan edukasi, bank perlu juga menyampaikan kepada nasabah dan investor bahwa bank dapat terkena sanksi. Tegasnya, pimpinan bank yang menolak memberikan laporan atau tak melakukan verifikasi data bisa dipidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 1 miliar. Namun, selama ini industri perbankan nasional telah diatur secara ketat (highly regulated) untuk mematuhi aturan perundang-undangan yang berlaku. Semangat itu terpatri dalam asas kepatuhan (compliance).

Ketiga, terbitnya UU itu akan membuat UU lain berubah karena dihapusnya pasal beberapa UU seperti UU No 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU No 7/1992 tentang Perbankan, UU No 8/1995 tentang Pasar Modal, UU No 21/2008 tentang Perbankan Syariah, dan UU No 10/2011 tentang Perdagangan Berjangka Komoditas.

Meningkatkan pengawasan
Akan tetapi, keempat, jangan lupa bahwa pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, harus menjamin bahwa data dan informasi nasabah tak digunakan untuk kepentingan di luar perpajakan. Jangan sampai keterbukaan informasi justru disalahgunakan dengan memanfaatkan jabatan dan wewenang yang berujung terjadinya kecurangan (fraud), termasuk korupsi.

Bagaimana terjadinya fraud? Ada teori segitiga kecurangan (fraud triangle) yang menurut Dr Donald Cressey terdiri atas tiga elemen: motif (motive), kesempatan (opportunity), dan rasionalisasi (rationalization). Motif adalah alasan seseorang melakukan fraud. Bisa berupa keserakahan, balas dendam, tekanan keluarga, kecanduan judi dan minuman, kebutuhan mendesak, dan utang selangit. Untuk itu, bisa saja pejabat tinggi sudah mandi harta setiap hari, masih juga melakukan fraud. Itu terjadi lantaran perilaku serakah.

Kesempatan merupakan lingkungan yang mendukung dalam melaksanakan fraud. Umumnya, kesempatan itu bersumber dari tingkat jabatan, posisi, kewenangan atau otoritas seseorang. Audit internal yang kurang baik akan kian memperlonggar lahirnya kesempatan bagi seseorang untuk berbuat fraud.

Adapun yang dimaksud dengan rasionalisasi adalah bagaimana pelaku fraud melakukan justifikasi (pembenaran) perilaku yang tak layak itu. Dengan bahasa lebih bening, rasionalisasi merupakan sebab yang menjelaskan mengapa perilaku seseorang berbeda motif dengan orang lainnya. Oleh karena itu, ketika pelaku fraud telah melakukan rasionalisasi terhadap perbuatannya, ia tetap merasa tidak bersalah sekalipun tertangkap basah. Bahkan, ia berani menyatakan tidak pernah menerima uang, 1 sen pun tidak (Paul Sutaryono, infobanknews.com, 3 Mei 2017).

Inspektorat Jenderal Pajak harus meningkatkan pengawasan semua jajaran di DJP. Upaya itu bertujuan mempersempit elemen kesempatan pada segitiga fraud sehingga tidak melahirkan fraud.

Kelima, Inspektorat Jenderal Pajak pun dapat memberikan penghargaan (reward) kepada karyawan yang berani menjadi peniup peluit (whistler blower) ketika diduga terjadi fraud. Kiat ini manjur mengingat setiap karyawan akan saling mengawasi sesama karyawan, bawahan atauatasan. Rasanya selama ini kasus korupsi di bidang perpajakan hanya berhenti sampai eselon III, seperti kasus Gayus Tambunan pada 2010 yang, meski berstatus tahanan, masih bisa menonton pertandingan tenis di Pulau Dewata. Hal itu menyiratkan pengawasan masih tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Maka, tidak mengherankan ketika muncul kasus suap oleh manajemen puncak BUMN, seperti PT Garuda Indonesia yang disusul PT PAL Indonesia pada awal 2017. Itu menyiratkan bahwa peran komisaris sebagai pengawas perlu lebih ditingkatkan. Hal ini sekaligus menegaskan BUMN kian dituntut lebih profesional. Jangan sampai BUMN menjadi sapi perah (cash cow) kelompok tertentu. Gejala itu diprediksi akan muncul pada tahun politik 2018 ini dengan adanya 171 pilkada. Komisi Pemberantasan Korupsi tak boleh lengah sehingga perlu dibangun perwakilan KPK di semua provinsi. Masyarakat pun perlu mengawal Mahkamah Konstitusi supaya tidak menjadi benteng terakhir dalam memenangi pilkada.

Demikian pula Badan Pemeriksa Keuangan yang mengaudit Kementerian Keuangan sudah seharusnya terus meningkatkan pengawasan. Kasus “perdagangan” Opini Wajar Tanpa Pengecualian yang melibatkan pejabat BPK dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi pada Mei 2017 hendaknya jadi pelajaran berharga. Peningkatan pengawasan amat diperlukan untuk menjamin data dan informasi di industri keuangan dipakai hanya untuk kepentingan perpajakan.

Mengingat informasi pajak itu berkaitan dengan industri keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dituntut ikut mengawasi jalannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 39/PMK.03/2017 tentang Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian Internasional yang diundangkan 6 Maret 2017. PMK itu merupakan tindak lanjut perppu tersebut. Pengawasan prima sangat diharapkan dapat mengawal UU, PMK, dan aturan turunannya sekaligus mendorong Indonesia naik kelas dari kategori yurisdiksi partially compliant ke largerly compliant.

Dengan begitu, pemerintah bisa menggali lebih banyak sumber penerimaan pajak. Industri keuangan, terutama perbankan, pun tetap dipercaya pemangku kepentingan meskipun rahasia bank sudah terbuka sedemikan rupa.

Paul Sutaryono, Pengamat Perbankan dan Mantan Assistant Vice President BNI

Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 26 Januari 2018

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan