Delik Korupsi Dalam RKUHP, Ancam Upaya Pemberantasan Korupsi

~ KPK dan Pengadilan Tipikor akan mati suri, Koruptor paling diuntungkan ~
Dok.ICW
Dok.ICW

Senin, 5 Maret 2018, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali bersidang setelah menyelesaikan masa reses. Salah satu kerja legislasi DPR yang perlu mendapat perhatian pada masa sidang mendatang adalah proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). DPR menargetkan  mengesahkan RKUHP menjadi Undang-Undang selambatnya pada April 2018.

Secara subtansi, RKUHP yang ada saat ini dinilai membahayakan demokrasi, penegakan Hak Asasi Manusi, dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Salah satu yang menolak keras keberadaan RKUHP adalah Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Aliansi ini merupakan gabungan dari beberapa lembaga seperti ICJR, Elsam, YLBHI, ICW, PSHK, LeIP, AJI Indonesia, KontraS, LBH Pers, Imparsial, HuMA, LBH Jakarta dan PSHK.

Aliansi menyatakan ada tujuh alasan mengapa RKUHP ini harus ditolak. Pertama, berperspektif pemenjaraan dan sangat represif membuka ruang kriminalisasi melebihi KUHP produk kolonial (over-criminalization). Kedua, belum berpihak pada kelompok rentan. Ketiga, mengancam program pembangunan pemerintah, utamanya program kesehatan, pendidikan, ketahanan keluarga, dan kesejahteraan masyarakat.

Keempat, mengancam kebebasan berekspresi dan memberangus proses berdemokrasi. Kelima, memuat banyak pasal karet dan tak jelas yang mendorong praktek kriminalisasi. Keenam, mengancam eksistensi lembaga independen. Ketujuh, dibahas tanpa melibatkan sektor kesehatan masyarakat, sosial, perencanaan pembangunan, pemasyarakatan, dan sektor-sektor terkait lainnya.

Terkait dengan isu pemberantasan korupsi, wacana kodifikasi delik korupsi ke dalam RKUHP masih memunculkan persoalan. Persoalan tersebut tidak pula dapat dilepaskan dari implikasi dimasukkannya delik korupsi ke dalam RKUHP, yang berpotensi memberangus kewenangan lembaga independen seperti KPK, dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi.

Dalam RKUHP tertanggal 2 Februari 2018, ketentuan mengenai delik atau tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 687-696. Sebagian ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) diadopsi langsung di RKUHP. Dalam naskah rancangan regulasi tersebut setidaknya ada enam pasal serupa dengan Pasal 2, 3, 5,11 dan 12 UU Tipikor.

ICW mencatat setidaknya ada 12 (dua belas) poin kritis dari rumusan delik korupsi yang ada di RKUHP (Lihat: Lampiran II), yang berpotensi besar melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Dari 12 catatan kritis tersebut, ada 4 (empat) akibat yang dapat melemahkan upaya pemberantasan korupsi, serta kewenangan KPK, jika RKUHP tetap disahkan.

Pertama, memangkas kewenangan penindakan dan penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meski Pemerintah dan DPR kerap berdalih bahwa jika RKUHP disahkan tidak akan mengganggu kerja KPK, namun kenyataannya justru dapat sebaliknya. Kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam UU KPK tidak lagi berlaku jika RKUHP disahkan. Artinya KPK tidak lagi berwenang menangani kasus korupsi yang diatur dalam KUHP. Pada akhirnya KPK hanya akan menjadi Komisi Pencegahan Korupsi karena tidak dapat melakukan penindakan dan penuntutan.

Kewenangan KPK tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK) yang secara spesifik menyebutkan bahwa KPK berwenang menindak tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Tipikor. Jika delik korupsi dimasukkan dalam KUHP, maka kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam kasus korupsi nantinya akan beralih kepada Kejaksaan dan Kepolisian karena kedua institusi ini dapat menangani kasus korupsi yang diatur selain dalam UU Tipikor.

Kedua, selain KPK, Pengadilan Tipikor juga berpotensi mati suri jika delik korupsi masuk dalam RKUHP. Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor pada intinya menyebutkan bahwa Pengadilan Tipikor hanya memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor. Dengan demikian jika tindak pidana korupsi diatur  dalam KUHP maka kasusnya tidak dapat diadili oleh Pengadilan Tipikor dan hanya dapat diadili di Pengadilan Umum. Sebelum Pengadilan Tipikor dibentuk, Pengadilan Umum dikenal sebagai institusi yang banyak membebaskan koruptor.

Ketiga, sejumlah ketentuan delik korupsi dalam RKUHP justru menguntungkan koruptor. Kondisi ini berbeda dengan UU Tipikor yang selama ini dinilai efektif menjerakan korupsi.  Ancaman pidana penjara dan denda bagi koruptor dalam RKUHP lebih rendah dari ketentuan yang diatur dalam RKUHP. Lebih ironis adalah koruptor yang diproses secara hukum bahkan dihukum bersalah, tidak diwajibkan membayar uang pengganti kepada Negara karena RKUHP tidak mengatur hukuman membayar uang pengganti atau uang yang telah dikorupsi.

Keempat, RKUHP juga tidak mengakomodir ketentuan Pasal 4 UU Tipikor yang intinya menyebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan Negara tidak menghapus pidana yang dilakukan. Jika ketentuan Pasal 4 tidak dimasukkan dalam RKUHP maka di masa mendatang pelaku korupsi cukup mengembalikan kerugian keuangan Negara agar tidak diproses oleh penegak hukum.

Berdasarkan sejumlah catatan tersebut maka ICW menyatakan menolak pengesahan RKUHP dan menolak pengaturan delik korupsi dimasukkan ke dalam RKUHP. DPR dan Pemerintah sebaiknya mengakomodir usulan perubahan maupun penambahan delik korupsi dalam Revisi UU Tipikor dan tidak memaksakan dicantumkan meskipun terbatas ke dalam RKUHP.

Jakarta, 8 Maret 2018

Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags