Lanjutkan Proses Hukum, KPK Harus Tolak Permintaan Menkopolhukam Untuk Menunda Penetapan Tersangka Calon Kepala Daerah Terindikasi Korupsi

Foto: Okezone News
Foto: Okezone News
Senin (12/3/2018), Wiranto (Menkopolhukam) menyampaikan pernyataan untuk meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar menunda penetapan tersangka para calon kepala daerah yang terindikasi korupsi hingga proses pilkada berakhir. Pernyataan ini disampaikan setelah Pemerintah bersama instansi terkait (KPU dan Bawaslu) menggelar rapat koordinasi khusus (rakorsus) Pilkada 2018. Sekalipun hadir di dalam rapat tersebut, pihak KPU kemudian mengklarifikasi bahwa tidak pernah mengusulkan wacana tersebut kepada pemerintah maupun turut memberikan persetujuan. Sehingga dapat dimaknai, justru wacana tersebut muncul dari satu arah yakni pihak pemerintah. 
 
Pernyataan tersebut sesungguhnya berlawanan dengan upaya menjadikan proses demokrasi (Pilkada) sebagai mekanisme menciptakan pemerintahan bersih. Sebab sesungguhnya pilkada menjadi ajang bagi masyarakat untuk memilih pemimpin mereka untuk 5 tahun yang akan datang. Manakala kontestan Pilkada tersebut merupakan orang yang bermasalah seperti terindikasi korupsi, seharusnya proses hukum bisa membantu masyarakat agar tidak salah pilih pemimpin daerah mereka. Jika pemerintah berada dalam garis yang jelas dalam mendukung upaya pembernatasan korupsi, maka sesungguhnya pernyataan seperti ini harus dihindari.
 
Lebih lanjut lagi, pernyataan dan usulan ini bisa dimaknai sebagai upaya secara tidak lansung untuk mengintervensi proses hukum. Seharusnya pemerintah bisa membedakan wilayah proses politik dan wilayah proses hukum yang tidak boleh diintervensi oleh siapapun. Pemerintah juga tidak perlu ragu, proses hukum yang dijalankan KPK tidak akan menghentikan proses politik. Pada faktanya, penetapan tersangka oleh KPK terhadap 5 calon kepala daerah 2018 tidak menghentikan atau mengganggu tahapan pilkada yang akan dilaksanakan daerah tersebut dan juga tidak menciptakan gangguan keamanan. 
 
KPK Harus Mengabaikan 
 
Permintaan Menkopolhukam tersebut harus diabaikan oleh KPK. Pada saat yang sama, ICW juga meminta kepada KPK untuk lebih berhati hati (prudent) dalam memproses calon kepala daerah yang terindikasi korupsi dan tidak terbawa dalam arus politik. JIka memang telah memiliki dua alat bukti, segera tetapkan pelaku menjadi tersangka. 
 
ICW menilai ada 3 alasan bagi KPK untuk mengabaikan dan menolak permintaan Menkopolhukan tersebut. 
 
1. KPK adalah Lembaga Negara Independent yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bebas dari intervensi kekuasaan manapun (Pasal 3 UU KPK). Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tidak dapat meminta untuk mempercepat, menunda atau bahkan menghentikan proses hukum yang dilakukan KPK. 
 
2. Pemerintah telah mencampuradukkan proses politik dengan proses hukum. Penyelengaraan Pilkada merupakan proses politik yang tidak boleh menegasikan dan menyampingkan proses hukum. Sebab konstitusi menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. 
 
3. Proses hukum oleh KPK bagian dari cara untuk menghadirkan para calon pemimpin daerah yang berkualitas dan berintegritas. Sebab mekanisme ini yang tidak dilakukan oleh partai dalam menjaring kandidat yang akan mereka usung. 
 
Indonesia Corruption Watch
13 Maret 2018

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags