Korupsi Yudisial

Berita tertangkapnya hakim, panitera, dan seorang advokat atas dugaan suap pada pengadilan tingkat pertama wilayah Tangerang merupakan fenomena puncak gunung es di dalam lembaga peradilan Indonesia. Pada umumnya, masyarakat sudah mengetahui apa yang terjadi, tetapi belum ada tindakan konkret dari Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk mengatasi hal ini.

Yang terjadi saat ini adalah pengawasan internal hakim oleh MA tidak berjalan sebagaimana mestinya. Di lain sisi, pengawasan eksternal hakim oleh Komisi Yudisial RI sangat dibutuhkan dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sistem checks and balances harus ada untuk menghindari perilaku tidak terpuji yang dilakukan oleh hakim yang dapat mencoreng marwah (kehormatan diri) lembaga peradilan yang luhur. Jadi, jika ada pendapat yang menyatakan bahwa hakim tidak perlu diawasi, tentu hal tersebut tidaklah benar.

Lemahnya pengawasan pada hakim merupakan sumber permasalahan terjadinya kasus korupsi dan suap di negeri ini. Selain itu, standar sistem perekrutan hakim yang kurang baik juga mengakibatkan para hakim tidak memenuhi syarat untuk menjalankan profesinya dengan profesional sesuai dengan kode etik profesi hakim.

Meskipun standar kelayakan hidup hakim sudah meningkat, korupsi dan suap yang terjadi di lapangan belum juga sirna. Sebab, masalah korupsi yudisial ada pada integritas para hakim yang konon dianggap sebagai wakil Tuhan.

Sosok hakim seharusnya berintegritas, bermoralitas tinggi, berwibawa, serta memiliki kebijaksanaan (wisdom) dan rasa adil sesuai dengan hati nurani.  Dalam menjalankan profesinya, sosok hakim harus memiliki judicial discretion atau sikap imparsial (tidak memihak) dan sikap independen (tidak terikat) dalam memutus perkara.

Henry J Abraham dalam bukunya, The Judicial Process (1993), menyebutkan pengertian judicial discretion sebagai berikut: ”Enlightened by intelligence and learning, controlled by sound principles of law, of firm courage combined with the calmness, of a cool mind, free from partiality, not swayed by sympathy nor warped by prejudice nor moved by any kind of influence save alone the overwhelming passion to do that which is just…”.

Hakim harus dapat menjauhkan diri dari segala bentuk janji-janji, fasilitas, uang, dan tawaran lainnya dari siapa pun sebagai sifat imparsial dan independen yang harus dimilikinya. Di sini kualitas seorang hakim dengan posisinya sebagai ”wakil Tuhan” menjadi taruhannya. Sebab, dalam setiap putusan pengadilan (hakim) selalu diawali irah-irah: ”Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

”Obstruction of justice”
Ada suatu pemeo yang berkata bahwa harkat dan martabat suatu bangsa ditentukan oleh perilaku advokat dan ahli hukumnya (para yuris). Tidak dapat dimungkiri bahwa andil advokat cukup besar karena it takes two to tango, tidak mungkin hakim bekerja sendiri dalam konspirasi tersebut. Padahal, dalam menjalankan profesinya, kejujuran seorang hakim dan advokat adalah hal utama.

Dalam profesi advokat sendiri, Abraham Lincoln, mantan Presiden AS yang juga merupakan seorang advokat, suatu waktu dulu pernah berkata: ”If in your own judgment you cannot be an honest lawyer, resolve to be honest without being a lawyer. Choose some other occupation, rather than one in the choosing of which you do, in advance, consent to be a knave.”  (The Collected Works of Abraham Lincoln, 1953)

Integritas advokat sangat dibutuhkan oleh masyarakat atau pencari keadilan dalam menjalankan profesinya. Namun, saat ini, masih banyak advokat yang melakukan obstruction of justice, yaitu tindakan menghalangi proses hukum atau mengacaukan fungsi peradilan. Contohnya memalsukan atau merekayasa bukti, mengecoh polisi, atau menganjurkan klien untuk menghindar dari penegak hukum, dan termasuk juga memengaruhi atau menyuap hakim.

Ada prinsip res judicata pro veritate habetur di mana apa yang diputus majelis hakim haruslah dianggap benar. Namun, putusan tersebut haruslah didasarkan pada keyakinan dan kebijaksanaan dari hakim. Putusan yang dibuat oleh hakim bukanlah putusan yang dibuat berdasarkan pesanan atau perintah pihak lain.

Putusan hakim harus didasarkan keyakinan dan kebijaksanaan dan seluruh pihak yang beperkara, termasuk advokat, harus menghormati putusan pengadilan tersebut. Tidak dibenarkan jika seorang advokat malah memberi hakim sejumlah uang dan hakim menerimanya tanpa rasa bersalah untuk mengubah isi putusan demi kepentingan klien yang dibela oleh advokat atau pihak yang beperkara.

Terakhir, tetapi tak kalah penting, kesadaran publik terhadap sikap antikorupsi sendiri harus ditingkatkan karena hal tersebut merupakan tanggung jawab profesi hukum terkait dengan kejujuran dan janji untuk setia dan patuh terhadap hukum, seperti yang telah disebutkan di dalam sumpah jabatan masing-masing. Konspirasi yang dilakukan antara hakim, advokat, dan panitera berupa korupsi yudisial dan suap telah merusak tatanan hukum dan membuat publik memandang sebelah mata terhadap profesi hukum di Indonesia.

Hakim dan advokat bersama- sama dengan penegak hukum lainnya harus dapat menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya sehingga kepercayaan publik meningkat dan kemudian akan meningkatkan kesadaran dan kepatuhan serta rasa hormat akan hukum serta norma-norma yang berlaku bagi masyarakat. Singkat kata, para penegak hukum dan profesi hukum haruslah dapat menciptakan masyarakat yang taat (tunduk) terhadap hukum dan hormat kepada hukum (law abiding-society).

Jangan sebaliknya malah memberi contoh buruk dan mengajarkan masyarakat untuk tidak taat hukum dan menghindar dari proses hukum yang harus dijalani.

Frans H Winarta, Mantan Anggota Governing Board Komisi Hukum Nasional Indonesia

Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 26 Maret 2018

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan