Vonis untuk Nur Alam Mengecewakan

Foto: Tribunnews.com
Foto: Tribunnews.com

Gubernur Sulawesi Tenggara non aktif, Nur Alam, akhirnya divonis 12 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 28 Maret 2018 lalu. Nur Alam juga diharuskan membayar uang pengganti Rp 2,7 miliar dan mencabut hak politik selama 5 tahun setelah menjalani masa hukumannya.

Nur Alam didakwa atas kasus korupsi penerbitan izin usaha pertambangan PT Anugrah Harisma Barakah (AHB), yaitu menerima gratifikasi yang dapat dikatakan suap Rp 40,2 miliar dari PT Richcorp Ltd, menyalahgunakan kewenangan yang ada pada dirinya dengan tujuan menguntungkan dirinya sebesar Rp 2,7 triliun dan PT Billy Indonesia sebesar Rp 1,5 triliun, serta mengakibatkan kerugian keuangan negara Rp 4,3 triliun yang berasal dari kerusakan lingkungan Rp 2,7 triliun dan kerugian negara Rp 1,5 triliun.

Oleh Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi, Nur Alam, didakwa melanggar pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 jo pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Vonis majelis hakim untuk Nur Alam sangatlah mengecewakan karena sejumlah alasan. Pertama, menurut Indonesia Corruption Watch sudah sepatutnya Nur Alam dituntut dan divonis hakim secara maksimal yaitu penjara seumur hidup. Nilai kerugian negara yang ditimbulkan hingga Rp 4,32 Triliun sangat luar biasa dan paling tinggi dalam sejarah penuntutan perkara korupsi di Indonesia. Apa yang dilakukan oleh Nur Alam tidak saja merugikan keuangan negara namun juga berdampak rusaknya lingkungan dalam waktu yang lama bahkan hingga turun menurun. kapasitas Nur Alam sebagai gubernur atau kepala daerah seharusnya menjadi panutan bagi rakyatnya dalam pemberantasan korupsi, bukan justru sebaiknya menjadi pelaku korupsi. Nur Alam juga telah merusak kredibilitas pemerintah khusus Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara.   

Kedua, vonis penjara yang diberikan hakim lebih rendah dari tuntutan jaksa. Jaksa sebelumnya menuntut Nur Alam selama 18 tahun penjara namun hakim memangkasnya menjadi 12 tahun penjara. Uang pengganti yang harus dibayarkan yaitu Rp 2,7 miliar juga sangat tidak sebanding dengan kerugian negaranya yang mencapai Rp 4,3 triliun.

Ketiga, majelis hakim juga tidak mengikutsertakan kerugian lingkungan, kerugian ekologis, dan biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp 2,7 triliun sebagai bagian dari kerugian negara. Sehingga yang dihitung sebagai kerugian negara hanya Rp 1,5 triliun, sesuai perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Hakim juga tidak melihat metode penghitungan kerugian lingkungan dalam perkara Nur Alam sebagai hal progresif yang dapat diterapkan pada kasus korupsi yang berkaitan dengan Sumber Daya Alam (SDA).

Sudah sepatutnya hakim mempertimbangkan kerugian lingkungan dalam setiap memutuskan korupsi yang berkaitan dengan SDA. Sebab korupsi di sektor SDA bukan hanya merugikan negara secara materil namun juga berakibat pada kerusakan lingkungan yang membutuhkan waktu lama untuk memulihkannya. (Tari/Emerson)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags