Rekomendasi Ombudsman RI

Penyerahan Laporan Hasil Akhir Pemeriksaan (LHAP) dalam kasus penataan Tanah Abang yang bisa berkonsekuensi rekomendasi oleh Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya (nama resmi dari perwakilan Ombudsman di DKI) kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menuai kontroversi. Ada yang pesimistis dan ada yang optimistis, serta ada yang mengasumsikan bermuatan politis.

Namun, yang lebih banyak adalah salah paham tentang rekomendasi Ombudsman RI dan juga prosesnya. Sebuah media memberi judul di acara bincang-bincang yang berkaitan dengan peristiwa tersebut dengan judul “Ombudsman Mengancam Anies Baswedan?” Memang ada tanda tanya di situ, tetapi hal itu menunjukkan bukan saja bombastis dan salah mengerti tentang proses di dalam Ombudsman RI, melainkan juga tentang rekomendasi itu sendiri.

Kontroversi tersebut, bagi penulis, bisa diambil pelajaran bahwa Ombudsman RI masih harus lebih giat untuk memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat tentang peran, kewenangan dan tugas Ombudsman RI serta proses di dalamnya kepada masyarakat luas dan juga kepada pemerintah.

Mandiri dan tidak berpihak
Ombudsman memfokuskan diri pada pengawasan kerja birokrasi dalam arti luas dalam pelayanan publik. Yaitu, semua penyelenggara pelayanan publik yang menggunakan dana APBN seluruhnya atau sebagian atau badan hukum yang ditugaskan oleh negara untuk melakukan pelayanan publik tertentu, termasuk di dalamnya BUMN dan BUMD.

Prinsip universal yang harus dipegang ombudsman adalah mandiri dan tidak berpihak. Karena itu ombudsman hanya ada di negara-negara demokratis. Ombudsman sulit berdiri di negara otoriter karena di negara seperti itu semua lembaga, apalagi yang dibiayai negara secara langsung dan utuh, selalu akan dikontrol oleh pemerintah atau partai politik penguasa. Ombudsman pertama kali berdiri di Swedia bersamaan berdirinya negara-negara demokrasi di Barat.

Di Indonesia, ombudsman berdiri pada era reformasi. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika itu mengantisipasi bahwa reformasi tidak cukup hanya secara politik dan bahkan dengan peradilan yang mandiri. Salah satu sektor yang paling liat daya tolaknya dalam menerima reformasi adalah birokrasi. Ombudsman memfokuskan diri pada pengawasan kerja birokrasi dalam arti luas dalam pelayanan publik. Yaitu, semua penyelenggara pelayanan publik yang menggunakan dana APBN seluruhnya atau sebagian atau badan hukum yang ditugaskan oleh negara untuk melakukan pelayanan publik tertentu, termasuk di dalamnya BUMN dan BUMD.

Namun, ombudsman bukanlah penegak hukum melainkan penegak keadilan. Oleh karena itu tidak relevan jika kerja-kerja ombudsman diukur hanya dengan hukum.
Ukuran keberhasilan ombudsman juga tidak bisa hanya diukur dengan kriteria hukum.  Ombudsman bisa melampaui teks hukum jika teks itu bertentangan dengan keadilan atau diskriminatif terhadap kelompok tertentu. Hal itu bisa dilakukan dengan memberi saran atau bagian dari rekomendasi untuk mengubahnya sehingga menjadi adil dan tidak diskriminatif, baik kepada penyelenggara pelayanan publik tertentu, kepada pemerintah di semua tingkatan, maupun DPR dan DPRD.

Kekuatan rekomendasi
Rekomendasi, menurut UU No 37/2008 tentang Ombudsman RI, hanyalah salah satu cara Ombudsman dalam menyelesaikan masalah. Empat cara lainnya adalah konsiliasi, mediasi, ajudikasi khusus, dan saran, yang keseluruhannya sering disebut sebagai Ombudsman Way. Rekomendasi bisa dikatakan ujung dari proses penyelesaian laporan masyarakat (LM), karena itu tidak semua LM diselesaikan hingga tingkat rekomendasi.

Setelah melalui verifikasi, LM terlebih dahulu diperiksa dan dikomunikasikan dengan terlapor dan pelapor serta instansi terkait untuk didapat data yang akurat tentang problem masalah yang dilaporkan. Dan, jika mungkin, diselesaikan melalui pembicaraan baik konsiliasi atau mediasi. Laporan masyarakat pun bisa ditolak oleh Ombudsman sebelum diproses jika tidak memenuhi kriteria administrasi pelaporan dan tidak ditemukan maladministrasi atau bukan kewenangan Ombudsman.

Dalam kasus-kasus yang bersifat individual,  banyak sekali LM yang bisa diselesaikan dengan komunikasi melalui SMS, WhatsApp atau telepon dan bertemu langsung ketika pihak terlapor telah menyadari kesalahannya dan segera mengoreksi kebijakannya. Sebaliknya, pelapor ternyata mau menerima penyelesaian tersebut. Karena itu, Ombudsman RI tidak banyak mengeluarkan rekomendasi karena lebih banyak diselesaikan dalam tahap sebelumnya.

Di samping itu, pemeriksaan terhadap LM yang sudah selesai dan ditentukan maladministrasinya juga dikomunikasikan dengan pihak terlapor berupa LHAP, sehingga terlapor bisa menyelesaikan masalah sebelum dikeluarkan rekomendasi. Jadi, ketika Plt Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya mengatakan kalau LHAP tidak ditindaklanjuti oleh terlapor maka akan dikeluarkan rekomendasi sama sekali bukan ancaman, melainkan sedang menjelaskan prosedur normal yang ada di Ombudsman RI.

Dengan demikian, Ombudsman sebenarnya bukan sebagai pemutus masalah sebagaimana dalam proses hukum, melainkan sebagai fasilitator pencarian penyelesaian (problem solveing).

Sanksi bagi terlapor
Salah satu hal yang dipersoalkan oleh publik adalah seberapa besar kekuatan rekomendasi yang dikeluarkan oleh Ombudsman RI terhadap terlapor. Lagi-lagi hal ini tidak bisa diukur sebagaimana dalam proses hukum atau pengadilan yang bisa secara langsung memberikan vonis sanksi dan eksekusi terhadap salah satu pihak yang diputus bersalah. Di sinilah perbedaan besar antara ombudsman dan proses hukum atau pengadilan.

Sanksi dalam proses ombudsman, khususnya terkait rekomendasi, bukan berada di Ombudsman RI melainkan berada di penyelenggara pelayanan publik itu sendiri. Karena itulah ombudsman sering disebut sebagai magistatur of infulence, pendekatan pengaruh. Namun ada faktor lain yang membuat rekomendasi Ombudsman RI efektif, yaitu kepemimpinan dan ketegasan dari lembaga penyelenggara pelayanan publik itu sendiri.

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa sanksi bagi yang mengabaikan rekomendasi Ombudsman RI berada di lembaga penyelenggara pelayanan publik, hal itu mengacu UU No 25/2009 tentang Pelayanan Publik. Di sana disebutkan bahwa semua penyelenggara pelayanan publik diwajibkan untuk menyediakan pengaduan dan pengelolaan pengaduan. Di dalamnya terkandung sanksi bagi yang mengabaikan pengaduan dan pelaporan. Pengabaian rekomednasi Ombudsman RI merupakan bagian dari sanksi tersebut.

Contoh paling jelas dalam hal ini adalah Pasal 351 ayat 4 dan 5 UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal ini memuat tentang kewajiban pengelolaan pengaduan dan pelaporan pemerintah daerah. Pasal tersebut menyebutkan kewajiban bagi kepala daerah untuk melaksanakan rekomendasi Ombudsman RI. Bagi yang tidak melaksanakannya bisa dikenakan sanksi berupa pembinaan khusus oleh Kementerian Dalam Negeri, sementara tugas dan kewenangannya dialihkan sementara kepada wakil atau orang yang ditunjuk. Dengan kata lain, sanksi itu cukup berat, berupa penonaktifan untuk pembinaan.

Dengan demikian, sampai di sini bisa disimpulkan bahwa ketika rekomendasi Ombudsman RI tidak dilaksanakan oleh terlapor atau penyelenggara pelayanan publik, maka sesungguhnya masalah bukan semata berada di dalam Ombudsman RI, melainkan karena rapuhnya dan ketidakpedulian kepemimpinan penyelenggara pelayanan publik sebagai terlapor.
Di samping itu, ada yurisprudensi di mana rekomendasi Ombudsman sebagai dasar pertimbangan dalam amar putusan hakim dalam kasus Pengadilan Negeri Palu,  Nomor 87/Pdt.G/2014/PN.Pal. Hakim mengabulkan tuntutan dalam kasus perdata dengan alasan pihak lawan  “melawan negara” karena mengabaikan rekomendasi Ombudsman RI.

Ahmad Suaedy, Anggota Ombudsman RI

Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 3 April 2018

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan