Gerakan Anti-calon Anggota Legislatif Korup

Seperti siklus lima tahunan, isu yang terkait pemilu pun berulang kembali muncul ke publik, termasuk isu calon anggota legislatif/politikus busuk dan korup. Tahun 2004, Indonesia Corruption Watch meluncurkan gerakan nasional antipolitikus busuk. Gerakan ini dilanjutkan ICW dan Formappi pada 2009 dan 2014.

Kali ini, isu itu kembali mengemuka, tetapi bukan dilansir oleh masyarakat sipil, melainkan penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU secara tegas ingin mengatur pembatasan caleg yang pernah dinyatakan sebagai narapidana dalam kasus korupsi untuk melanjutkan proses pencalonan sebagai anggota legislatif. Tentu langkah KPU ini mendapat dukungan dari kelompok masyarakat sipil dan publik yang terwakili dalam petisi online. Dan, seperti yang diduga, reaksi negatif serta penolakan partai politik dan politisi di DPR mengemuka.

Tulisan ini mengelaborasi kemungkinan besar efektivitas sebuah gerakan yang relatif sama dalam setiap siklus lima tahunan pemilu. Hal yang menarik adalah isu yang digulirkan ini akan memiliki dampak langsung dalam proses pencalonan anggota DPR/DPRD manakala KPU konsisten melakukan tindakan terhadap caleg-caleg yang pernah terlibat korupsi tersebut.

Ada momentum
Momentumnya sudah terbentuk sejak banyak anggota DPR tersangkut korupsi pada awal reformasi. Momentum inilah yang membuat ICW tergerak melakukan gerakan antipolitikus busuk dalam Pemilu 2004. Meskipun gerakan ini merilis nama-nama politikus busuk yang disampaikan kepada publik, gerakan ini menimbulkan kontroversi karena penyebutan nama-nama yang tidak sesuai tersebut ternyata diadukan kepada lembaga peradilan. Hal yang sama berlanjut pada tahun-tahun sesudahnya.

Namun, yang menarik dalam tahun ini adalah inisiatif soal pelarangan pencalegan yang terkait kasus korupsi ini berasal dari KPU, sebagai lembaga yang memiliki otoritas dalam melakukan proses penyelenggaraan pemilu. KPU merasa bahwa berdasarkan pengalaman dalam pencalonan pilkada tahun ini dan sebelumnya, pemilih diberi ruang yang terbatas untuk dapat memilih manakala ada calon peserta yang terindikasi korupsi dalam proses pilkada yang tengah berlangsung. Padahal, seperti yang kita ketahui bersama, headline berita-berita media massa dan online selalu dipenuhi oleh kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh para politisi kepala daerah ataupun anggota legislatif.

Momentum yang tepat ini dimanfaatkan oleh KPU, manakala saat ini aturan yang menyangkut pendaftaran calon tersebut sedang dibahas secara serius dan direspons secara negatif oleh partai politik dan pemerintah. Kenapa saya sebut sebagai momentum yang tepat? Partai politik selalu berkilah adanya kesulitan dalam pencarian dan penetapan calon-calon yang potensial dengan jejak rekam yang baik. Padahal, dengan adanya aturan baru dari KPU ini seharusnya mendorong parpol untuk semakin berhati-hati dalam melakukan perekrutan calegnya. Dengan
demikian, aturan KPU ini seharusnya menjadi terapi kejut (shock therapy) yang efektif bagi parpol dalam memperbaiki kelembagaannya secara serius, terutama dalam menjaring dan menyiapkan kader-kader terbaiknya dalam pencalonan pemilu.

Momentum ini harus disambut dengan refleksi bagi perbaikan parpol dan juga menjadi titik masuk utama bagi kelompok masyarakat sipil dalam merilis kembali nama-nama politisi yang bermasalah. Untuk itu, kerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), media massa, dan pegiat media sosial pun menjadi hal yang penting dilakukan untuk menggerakkan kembali isu ini.

Dukungan publik terhadap larangan caleg yang korup untuk kembali mencalonkan diri perlu digalang secara luas. Apabila gerakan antipolitisi busuk sebelumnya dianggap sebagai gerakan elitis, untuk memulai kembali gerakan dengan isu yang relatif sama ini perlu ada skema bagaimana memobilisasi dukungan publik yang lebih masif seperti kisah sukses di Korea Selatan tahun 2000. Dalam konteks kekinian, mobilisasi isu yang efektif adalah melalui medsos dengan berbagai skema seperti dukungan melalui petisi daring serta memviralkan gambar dan nama yang dimaksud melalui grup perbincangan di medsos.

Media massa, kampus, dan kelompok yang berkepentingan terhadap isu antikorupsi harus terus dirangkul, sebagaimana pengalaman keberhasilan gerakan
#savekpk. Pelajaran yang menarik dari gerakan serupa di Korea Selatan adalah adanya penolakan terhadap 70 persen daftar hitam nama yang dirilis oleh gerakan CAGE dalam Pemilihan Umum 2000 yang menjadi bukti keberhasilan gerakan.

Pemilu yang berintegritas
Oleh karena elemen bangsa sudah sepakat untuk menghadirkan pemilu yang berintegritas, sudah semestinya keputusan KPU ini harus disambut dengan baik. Salah satu dimensi penting dalam pemilu yang berintegritas adalah proses penyelenggaraan yang adil dan dapat dipertanggungjawabkan. Pencalonan peserta pemilu adalah bagian dari proses yang dimaksud.

Dengan demikian, parpol juga harus menyiapkan calon-calon yang berintegritas. Sedangkan KPU melakukan proses seleksi berkas administrasi yang menyatakan bahwa calon-calon yang ditawarkan oleh parpol memang benar-benar layak untuk disampaikan kepada pemilih untuk dipilih. Maka, dalam proses tersebut, argumen KPU dalam mendorong parpol untuk menghadirkan caleg-caleg yang bebas dari jerat kasus korupsi adalah benar adanya demi menghasilkan kualitas pemilu yang berintegritas.

Dalam kerangka itulah gerakan untuk menolak caleg yang pernah berurusan dengan kasus korupsi perlu dikonkretkan. Gerakan ini akan memiliki dampak yang berbeda dengan sebelumnya manakala parpol mendapat ancaman serius jika mereka tidak memperhatikan desakan publik ini.

Sebagai sebuah terobosan hukum, langkah KPU ini harus didukung untuk melindungi hak konstitusional pemilih dalam memilih calon-calon anggota DPR/DPRD yang berintegritas.

Aditya Perdana Direktur Pusat Kajian Politik FISIP UI

Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 26 Juni 2018

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan