Komitmen Pemberantasan Korupsi Pemerintah Rendah

Raih skor 38 Indeks Persepsi Korupsi 2018, 1.466 Koruptor PNS Masih Digaji Negara
Sumber: Beritagar
Sumber: Beritagar

Transparency International (TI) merilis hasil survei indeks persepsi korupsi 2018. Dalam survey terbarunya, Indonesia berada di ranking 89 dengan skor 38, naik 1 skor dibandingkan tahun sebelumnya. Meskipun hasil survei terbaru ini cukup melegakan, namun Pemerintah tidak bisa berbangga diri mengingat kenaikan skor IPK Indonesia di 2018 sebagian besar disumbang oleh perbaikan governance pada sektor ekonomi.

Semestinya, jika Pemerintah serius memberantas korupsi di sektor yang lebih luas, khususnya sektor politik dan birokrasi, sangat mungkin kenaikan skor IPK Indonesia akan signifikan. Rendahnya komitmen Pemerintah dalam agenda pemberantasan korupsi salah satunya dapat dilihat dari keengganan untuk memecat PNS koruptor.

Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, dari 2.357 Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang telah divonis bersalah karena terbukti melakukan korupsi, baru 891 yang diberhentikan secara tidak hormat. Artinya masih ada 1.466 atau 62 persen PNS yang belum dipecat. Gaji mereka juga masih terus dibayarkan sehingga berpotensi menyebabkan kerugian negara. 

Berdasarkan Data BKN yang didapatkan ICW, per tanggal 17 September 2018, terdapat 98 PNS koruptor yang bekerja di Kementerian dan 2.259 PNS koruptor yang bekerja di provinsi, kabupaten, dan kota (terlampir).  Sementara itu, catatan buruk lain tentang integritas PNS dapat terlihat dari pemantauan yang dilakukan oleh ICW.

Selama periode 2016 hingga semester I 2018, tercatat sebanyak 1.111 PNS telah ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat penegak hukum. Sebagian besar modus yang dilakukan adalah membuat laporan fiktif dan penggelembungan harga dalam proses pengadaan. Hal ini menunjukkan bahwa upaya untuk membenahi birokrasi di Indonesia masih jauh panggang dari api. Baru-baru ini cerita buruk mengenai PNS juga sempat mencuat. Abd. Samad, terpidana kasus korupsi bantuan sosial untuk guru mengaji di Taman Pendidikan Alquran. Ia meminta bantuan sebesar Rp50.000 per-PNS untuk meringankan beban dendanya agar dapat bebas pada akhir Desember 2018 lalu.

Permintaan tersebut diakomodir oleh Sekretaris Daerah Kota Batam dengan menandatangani surat yang ditujukkan ke Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan ditembuskan ke Wali Kota Batam dan Wakil Wali Kota Batam. Fenomena tersebut menunjukkan kegagalan pemerintah dalam memahami semangat zero tolerance untuk kejahatan korupsi. 

Lambannya keputusan Pemerintah untuk memecat PNS koruptor sangat disayangkan. Apalagi tiga instansi telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) mengenai keharusan untuk melakukan pemecatan terhadap PNS yang telah dijatuhi hukuman dari pengadilan. SKB tertanggal 13 September 2018 itu diteken oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Kepala Badan Kepegawaian Negara. Akan tetapi SKB tersebut seakan-akan diabaikan.  Poin ketiga SKB tersebut menjelaskan bahwa jangka waktu penjatuhan sanksi paling lama bulan Desember 2018. Menteri Dalam Negeri juga kembali menegaskan bahwa pada akhir tahun 2018 persoalan PNS yang terjerat kasus korupsi akan segera diselesaikan. Upaya dan janji itu patut diapresiasi, namun pada praktiknya tak berjalan sesuai rencana.

Hingga akhir Januari 2019, masih banyak ribuan PNS koruptor yang belum dipecat.  Pemecatan PNS yang telah divonis bersalah karena melakukan korupsi telah diatur sesuai Undang-Undang. Dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU Nomor 5 tahun 2014) dan Pasal 250 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negari Sipil (PP Nomor 11 tahun 2017). Dinyatakan bahwa PNS diberhentikan tidak hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum.

Tanggung jawab untuk memberhentikan PNS diserahkan kepada menteri, pimpinan lembaga, sekretaris jendral dan kepala daerah. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 53 UU Nomor 5 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dalam hal ini menteri, pimpinan lembaga, sekretaris jendral dan kepala daerah memiliki tanggung jawab untuk melakukan pemberhentian terhadap PNS yang tersangkut kasus hukum.  

Lambatnya proses pemecatan PNS koruptor menunjukkan minimnya komitmen pemberantasan korupsi dari instansi-instansi yang berwenang, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini merugikan masyarakat sebagai pembayar pajak karena uang pajak yang mereka bayarkan justru digunakan oleh negara untuk membayar gaji PNS yang korupsi.

Oleh sebab itu, Indonesia Corruption Watch mendesak agar:

  1. Presiden RI Joko Widodo sebagai pembina PNS tertinggi memerintahkan PPK, dalam hal ini menteri dan kepala daerah untuk segera melakukan proses pemecatan terhadap PNS yang telah divonis bersalah karena melakukan tindak pidana korupsi.
  2. PPK, dalam hal ini menteri dan kepala daerah, segera melakukan pemecatan terhadap PNS yang telah divonis bersalah karena melakukan tindak pidana korupsi.
  3. Mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dan/atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan penghitungan terhadap potensi kerugian negara terkait pemberian gaji PNS koruptor.
  4. Mendesak Kementerian Keuangan RI untuk menghentikan semua pembayaran gaji dan tunjangan kepada PNS yang sudah berstatus terpidana korupsi untuk menghindari kerugian negara lebih besar.

Jakarta, 30 Januari 2019

Indonesia Corruption Watch

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags