Globalisasi, Otda, dan Pembangunan Daerah
Fenomena globalisasi menjadi hal yang terhindarkan dalam segala sektor kehidupan berbangsa. Secara lebih spesifik, proses tersebut sangat menentukan karakter pembangunan di setiap negara.
Jika sebelumnya pembangunan lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi nasional, pada era globalisasi ini setiap pembangunan didorong untuk menjadi bagian yang integral dari pertumbuhan ekonomi global. Dalam hal ini negara tidak lagi menjadi aktor tunggal dalam pembangunan,tetapi telah terkoneksi pada keterlibatan sektor privat.
Aktor-aktor itu direpresentasikan oleh korporasi nasional maupun korporasi multinasional/transnasional di satu sisi serta keterlibatan masyarakat sipil secara masif di sisi yang lain.
Sosiolog ternama Daniel Bell mengungkapkan bahwa negara nasional terlalu kecil untuk mengatur dan mengurus masalah-masalah yang sangat besar,tetapi terlalu besar untuk mengatur dan mengurus masalah-masalah yang sangat kecil. Sehingga model tersebut memiliki potensi yang besar untuk terjebak pada etatisme negara yang mengambil corak otoritarian, sentralistis, penyeragaman segala hal, serta kurang peka dalam meng-akomodasi partisipasi publik.
Pembangunan di Indonesia
Dalam konteks keindonesiaan, sejarah bangsa dan negara ini pernah mencatat bahwa dalam rentang waktu yang cukup panjang, pemerintahan Orde Baru pernah menerapkan konsep developmentalisme atau sering disebut dengan istilah “pembangunanisme”. Istilahini lebih kental kepada pengertian tentang involusi tujuan pembangunan dan bahkan menyebabkan distorsi atas makna pembangunan itu sendiri.
Namun, sebagaimana yang dibahasakan Yoshihara Kunio, developmentalisme pada gilirannya menumbuhsuburkan oligarki kekuasaan dan pemburu rente dalam konstruksi kapitalisme semu (ersatz capitalism) yang ditandai dengan rapuhnya fondasi ekonomi negara saat itu.
Reformasi menjadi titik tolak bagi upaya untuk mereposisi sekaligus merevitalisasi peran negara.Konstitusi secara tegas mengamanatkan peran negara dalam mewujudkan kesejahteraan. Peran itu ditransformasikan dalam konstruksi pembangunan yang mandiri, namun tidak sempit dengan sikap anti asing.
Seiring dengan hal tersebut, perubahan iklim pemerintahan dari sentralistis menjadi desentralistis mempunyai implikasi besar terhadap penataan ulang hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Pembangunan akhirnya diletakkan sebagai bagian integral dari pelaksanaan otonomi daerah.
Pemerintah daerah tidak lagi menjadi objek pembangunan, namun sekaligus menjadi subjek penyelenggara pembangunan di daerah. Angin segar perubahan itu sendiri harus diakui berkorelasi kuat dengan perubahan global dalam bidang kepemerintahan.
Hal ini membuat diskursus politik seperti demokrasi, tata pemerintahan yang baik (good governance), rekonstruksi hubungan pemerintah pusat dan daerah, keterlibatan masyarakat sipil (civil society) menjadi hal-hal baru yang penting. Hal hal tersebut harus diperhatikan oleh setiap pemerintahan dalam mengelola proses pembangunan dengan lebih berorientasi pada sifat outward-looking daripada sifat inward-looking.
Tantangan
Upaya pemerintah di era otonomi daerah ini adalah menjadikan daerah sebagai wadah yang tepat bagi pertumbuhan dan perkembangan investasi dan industri. Penekanannya pada kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous development) dengan menggunakan potensi SDM dan SDA lokal (daerah), kelembagaan,dan teknologi.
Berkaitan dengan upaya memberdayakan daya saing daerah, langkah yang dapat dikembangkan antara lain melakukan pemetaan secara cermat dengan pendekatan yang dapat dipertanggungjawabkan, mengenai berbagai potensi yang dimiliki oleh setiap daerah.
Hasilnya, kemudian dituangkan ke dalam dokumen rencana strategis (renstra) daerah, yang berisi analisis kekuatan, ancaman, peluang, kelemahan, dan kekuatan (istilah Hermawan Kartajaya: TOWS) yang dimiliki dan dihadapi oleh daerah, berikut perumusan strategi pencapaiannya.
Kesemua itu akan mudah dilaksanakan oleh suatu daerah yang dipimpin oleh figur kepala daerah yang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang memadai, didukung oleh birokrasi yang profesional, DPRD yang legitimate, serta masyarakat yang kritis. Setiap daerah harus memunculkan dan memupuk core competence-nya masing-masing agar kemudian daerah mampu mewujudkan pusat-pusat pertumbuhan (growth center) di antero wilayah TanahAir.
Pusatpusat pertumbuhan dengan produk unggulannya masingmasing selanjutnya dapat menyusun networking system dalam semangat kerja sama antardaerah dan menjadi modal untuk mewujudkan ketahanan nasional. Itulah sebabnya diperlukan tata-hubungan dan koordinasi yang rapi dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan pusat,provinsi,dan kabupaten/kota yang selalu harus dibangun di era otonomi daerah sekarang ini.
Di samping alokasi keuangan sektor publik untuk penyediaan infrastruktur dasar,fungsi utama pemerintah daerah yang sangat penting dalam kaitan ini adalah merumuskan berbagai bentuk regulasi da-erah (perda) dalam rangka menciptakan iklim yang kon-dusif bagi investasi.
Regulasi yang dibuat harus mengandung sifat fasilitatif, akomodatif, sustainable, dan konsisten.Perda yang tidak mengandung beberapa sifat sebagaimana tersebut tentu akan menghambat perwujudan tata kelola pemerintahan yang baik bagi percepatan pembangunan daerah.
DODI RIYADMADJI Direktur Fasilitasi Kepala Daerah, DPRD, dan Hubungan Antar Lembaga Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 13 Juli 2011