Perkembangan Uji Materi Pembubaran Banggar DPR
Koalisi Selamatkan Uang Rakyat mengajukan uji materi (judicial review) pada Mahkamah Konstitusi tentang kewenangan Badan Anggaran (Banggar) DPR. Banggar diduga menjadi sumber korupsi di DPR. Koalisi meyakini Banggar harus dibubarkan. Hingga kini, persidangan telah berjalan tujuh kali.
Koalisi ingin membuktikan bahwa pada UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) ada celah yang membuka peluang korupsi dan mafia anggaran di DPR. Febri Diansyah, peneliti ICW, mengatakan, “Kewenangan Banggar harus ditinjau ulang. Banyak anggota DPR dijerat KPK. Praktek mafia anggaran juga makin terbongkar dan sejumlah besar uang negara bocor.”
Pemohon Uji Materi |
Kategorisasi Pengujian |
YLBHI, FITRA, IBC dan ICW sebagai pemohon kelembagaan serta Feri Amsari dari PUSAKO Universitas Andalas dan Hifdzil Alim dari Pukat Korupsi Fakultas Hukum Univesitas Gadjah Mada. |
Koalisi mengajukan 12 bagian dari UU Keuangan Negara dan UU MD3, dengan pengelompokan sebagai berikut:
|
Keberadaan Badan Anggaran DPR
Pasal yang diuji: Pasal 104 sepanjang frase “yang bersifat tetap” dan Pasal 105 ayat (1) sepanjang frase “pada permulaan masa keanggotaan DPR dan” UU No. 27 Tahun 2009. |
Koalisi meminta MK merombak bentuk kelembagaan Banggar agar tidak lagi bersifat alat kelengkapan tetap yang dibentuk dan ditunjuk langsung 1 kali selama 5 tahun. Banyak dugaan bahwa orang-orang “khusus” sengaja ditempatkan di Banggar untuk mengatur mengatur pendanaan partai politik. Apalagi PPATK mengungkap 2.000 transaksi keuangan mencurigakan. Sebagian besar, terkait anggota Banggar.
KPK juga telah menjerat sejumlah anggota Banggar dalam kasus korupsi, seperti: M. Nazaruddin (Bendahara Umum Partai Demokrat), Angelina Patricia Pingkan Sondakh (Wakil Sekjen Partai Demokrat), Wa Ode Nurhayati (PAN), dan Zulkarnain Djabar (Golkar).
Pasal yang diuji: Pasal 107 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 |
Koalisi juga meminta MK menegaskan bahwa Banggar hanya berwenang melakukan sinkronisasi (pencocokkan) hasil pembahasan Komisi bersama mitra di eksekutif. Dengan kata lain, Banggar tidak bisa membahas sendiri sebuah anggaran tanpa pembahasan sebelumnya di komisi, apalagi jika dilakukan secara tertutup. Ini meletakkan kembali posisi Banggar dalam fungsi sinkronisasi dan kebijakan umum anggaran saja di pembahasan tahap I.
Kewenangan anggaran DPR membahas RAPBN secara terperinci
Pasal yang diuji: membatalkan Pasal 157 ayat (1) huruf c sepanjang frase “rincian” UU No. 27 Tahun 2009 dan mempertegas tafsir Pasal 15 ayat (5) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 159 ayat (5) UU No. 27 Tahun 2009. |
Koalisi meminta MK meluruskan kerancuan tata negara dan peluang konflik kepentingan yang dapat berujung korupsi akibat kewenangan absolut DPR membahas anggaran secara rinci. “DPR tidak akan mampu membahas rinci. Kewenangan ini rentan disalahgunakan menjadi praktek ijon anggaran,” terang Febri. Apalagi, sejak awal DPR telah tahu mata anggaran sampai unit kegiatan yang sangat rinci.
Keterangan para ahli di persidangan mengungkap bahwa kewenangan ini merusak tata negara Indonesia. “Khususnya karena kita menganut sistem presidensial. DPR ikut menyusun APBN secara rinci, tapi kemudian jadi pengawas untuk pelaksanaan APBN yang ikut dibahasnya. Ini sangat rancu,” jelas Febri. Menurut koalisi, DPR cukup membahas anggaran secara umum agar arah politik anggaran jelas. “Setelah pengesahan APBN, DPR lebih memperkuat fungsi pengawasannya,” jelas Erwin Natosmal dari Indonesia Legal Roundtable.
Praktek perbintangan/pemblokiran anggaran
Pasal yang diuji: Pasal 71 huruf (g) dan Pasal 156 huruf a dan b UU 27 tahun 2009. |
“Praktek yang selama ini sering terjadi di DPR adalah sesuatu yang ilegal secara hukum. Karena proses pembahasan APBN di DPR harus berhenti sejak palu paripurna diketok dan RUU APBN disahkan menjadi UU APBN,” jelas Erwin. Praktek pemblokiran anggaran selama ini juga rentan disimpangi sehingga berpeluang menjadi alat barter baru dalam praktek mafia anggaran.
Pembahasan APBN-Perubahan
Koalisi ingin menjernihkan anggaran apa saja yang boleh diajukan dalam APBN Perubahan. Dari sejumlah kasus, korupsi anggaran dalam proyek APBN-Perubahan sangat mengemuka, diantaranya:
Kasus |
Keterangan |
Kasus suap terkait pembangunan Wisma Atlet |
Nilai: Rp. 191.672.000.000. Sumber: APBN-Perubahan 2010 Proses: Putusan inkracht di Mahkamah Agung dengan terdakwa M. Nazaruddin, vonis 7 tahun penjara |
Kasus pengadaan, pemasangan, dan perawatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) |
Nilai: merugikan keuangan Negara Rp. 2.729.473.128,- dan Rp. 173.514.818 Sumber: APBN-Perubahan tahun 2008 Proses: Sudah divonis bersalah di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dengan terdakwa: Timas Ginting divonis 2 tahun penjara dan Neneng Sriwahyuni divonis 6 tahun penjara |
Pengadaan kitab suci Al Quran APBN-Perubahan 2011 dan APBN 2012 |
Pada Direktorat Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama Proses: Terdakwa Zulkarnain Djabar divonis bersalah dan divonis 15 tahun penjara, dan anaknya Dendy Prasetya divonis 8 tahun penjara |
Pasal yang diuji: Pasal 161 ayat (4) dan (5) UU No. 27 Tahun 2009 dan Pasal 156 butir (c) angka (2) dan Pasal 161 |
Seharusnya, APBN-P hanya diperbolehkan jika benar-benar terjadi perubahan sesuai dengan pasal yang diuji di sini, dan tidak diperbolehkan untuk proyek-proyek baru.
“Tidak semua pasal diuji untuk dibatalkan. Ada sebagian yang kami minta dinyatakan konstitusional bersyarat,” ujar Very Junaidi dari Perludem. Batu uji yang diajukan adalah Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undangundang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
“Jika ternyata pembahasan APBN menyimpang dari praktek tata negara kita dan menimbulkan peluang mafia anggaran atau korupsi, tentu saja pasal-pasal tersebut melanggar UUD 1945,” ungkap Very. Dalam UUD 1945, APBN ditujukan untuk kemakmuran rakyat. “Bukan kemakmuran segelintir orang yang menguasai pengambilan keputusan anggaran, apalagi kemakmuran para koruptor,” tegas Very.
Perkembangan Persidangan
Hingga kini, sidang telah digelar tujuh kali, yaitu: Persidangan Pendahuluan (11 dan 30 April 2013) dan pemeriksaan substansi perkara/persidangan Pleno (5 Juni 2013, 24 Juni 2013, 11 Juli 2013, 25 Juli 2013, dan 21 Agustus 2013). Dalam sidang pleno, koalisi telah menghadirkan 8 ahli, 1 saksi, dan 1 pihak terkait. Berikut keterangan mereka.
No. |
Nama Ahli |
Uraian Ketetangan Ahli |
|
Siswo Sujanto, Ahli Keuangan Negara |
Disampaikan pada persidangan 24 Juni 2013
|
|
Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Ilmu Ekonomi Kelembagaan di FE Universitas Brawijaya |
Disampaikan pada persidangan 24 Juni 2013
|
|
Kuskridho Ambardi, Guru Besar Ilmu Ekonomi Kelembagaan di Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya |
Disampaikan pada persidangan 11 Juli 2013
Dana politik parpol dihubungkan dengan kewenangan absolut Banggar dari hulu-hilir menimbulkan kekhawatiran akibat penyimpangan, kickback dan lain-lain.
|
|
Ari Dwipayana, Doktor Ilmu Politik di FISIP UGM |
Disampaikan pada persidangan 11 Juli 2013
|
|
Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas |
Disampaikan pada sidang 25 Juli 2013
|
|
Zainal Arifin Mochtar Husein, Doktor Ilmu Hukum UGM |
Disampaikan pada sidang 25 Juli 2013
|
7. |
Rimawan Pradipto, Ph.D. (Pengajar Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada) |
Disampaikan pada sidang 20 Agustus 2013
|
8. |
Drs. Iwan Gardono Sudjatmiko Ph.D. (Pengajar Sosiologi Universitas Indonesia) |
Disampaikan pada sidang 20 Agustus 2013
|
Keterangan Saksi
No |
Nama Saksi |
Keterangan Saksi |
1. |
Yuna Farhan, (Sekjen Seknas Forum Transparansi Anggaran (FITRA) |
|
Keterangan Pihak Terkait
No |
Nama Pihak |
Keterangan Pihak Terkait |
Dr. Bambang Widjojanto, S.H. (Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi) |
Disampaikan pada sidang 20 Agustus 2013
|
“Seluruh uraian diatas menunjukkan bahwa pemberlakuan pasal-pasal UU Keuangan Negara dan MD3 yang diuji, telah—dan atau menyebabkan kerugian konstitusional—dan atau potensi kerugian konstitusional Pemohon. Selain itu, ketentuan pasal-pasal aquo menjadi celah terjadinya praktek korupsi yang melibatkan anggota-anggota Banggar,” tutup Febri.
Unduh kesimpulan judicial review Badan Anggaran DPR di sini.