Remisi untuk Koruptor Dihentikan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyetujui penghentian pemberian remisi kepada terpidana kejahatan terorganisasi terutama dalam kasus tindak pidana korupsi dan terorisme.

“Presiden menegaskan kembali persetujuannya untuk menguatkan pesan penjeraan kepada para pelaku kejahatan terorganisir, khususnya korupsi dan terorisme.Untuk itu,pengurangan hukuman atau remisi kepada para koruptor dan teroris disetujui untuk dihentikan,” ungkap Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, HAM, dan Pemberantasan KKN Denny Indrayana dalam siaran persnya di Jakarta tadi malam.

Denny menjelaskan, Presiden mengambil keputusan ini sesuai dengan semangat antikorupsi. Langkah ini diharapkan bisa terus menggelorakan semangat pemberantasan korupsi. “Kebijakan moratorium remisi bagi tindak pidana ko-rupsi dan terorisme itu dilakukan seiring dengan perbaikan peraturan perundangan yang mendasarinya agar lebih jelas dan sejalan dengan semangat antikorupsi,”ungkap dia.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mendukung penghapusan pemberian remisi untuk koruptor. Namun, ICW menegaskan bahwa janji tersebut jangan hanya angin surga untuk menaikkan citra kepada masyarakat. “Konkretkan kalau memang sudah berjanji, dengan cara perbaiki regulasi peraturan pemerintah (PP),” kata peneliti bidang hukum ICW Donal Fariz.

Menurut dia, persoalan remisi dan pembebasan bersyarat selalu menjadi wacana yang berulang-ulang setiap tahun. Faktanya, belum ada aturan yang jelas atau keinginan untuk mengubah PP terkait aturan pemberian remisi bagi para koruptor. “Tunjukan komitmen yang kuat dan tindakan yang nyata. Kasus seperti ini sudah berulang kali. Bilangnya, akan mengkaji, tapi sampai saat ini belum juga terealisasi,” kritiknya.

Dia juga mengkritik pernyataan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar sebelum ini yang akan tetap memberikan remisi bagi para koruptor mengingat PP pemberian remisi belum diubah.Padahal,jika ada keinginan,Presiden melalui Kementerian Hukum dan HAM mudah untuk mengubah PP tersebut.

Peneliti ICW lainnya,Tama S Langkun, juga mengungkapkan hal senada.Sudah selayaknya pemberian remisi bagi koruptor dihapuskan dan koruptor diberikan hukuman seberat- beratnya.Sebab,kejahatan korupsi tidak sekadar extraordinary crime, tapi juga crime against humanity.

Pengamat hukum dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung Asep Warlan Yusuf menilai tindak pidana korupsi merupakan kejahatan besar sehingga sudah seharusnya pemerintah menghapus remisi bagi pelakunya. Penghapusan remisi juga akan menimbulkan efek jera.

“Setidaknya itu merupakan upaya pemberantasan korupsi. Karena pada dasarnya korupsi sudah mendarah daging di negara ini. Harus ada upaya untuk memutus rantai korupsi, ”ungkap dia. Sejumlah koruptor telah menikmati remisi. Pada peringatan Idul Fitri lalu, sebanyak 253 koruptor mendapatkan remisi dengan delapan di antaranya langsung bebas. Jauh sebelumnya nama-nama seperti Artalyta Suryani dan Urip Tri Gunawan juga tak luput dari “bonus” tersebut.

Begitu juga sejumlah mantan pejabat Bank Indonesia yang menikmati hal sama. Peraturan Pemerintah No 28/2006 menyebutkan,terpidana korupsi bisa mendapatkan remisi dengan syarat berkelakuan baik dan telah menjalani sepertiga masa pidana. Namun, pemberian remisi kadang tak sesuai dengan aturan itu.

Artalyta menjalani hukuman jauh lebih rendah dari vonis akibat banyaknya remisi yang didapat. Pemberian remisi bagi koruptor dinilai mencederai rasa keadilan masyarakat. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas menegaskan bahwa koruptor telah merugikan negara dan membuat kesengsaraan bagi rakyat.

“Koruptor justru akan senang jika memperoleh remisi,” kata Busyro belum lama ini. Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar sebelumnya menyatakan, remisi merupakan hak narapidana yang tercantum dan diatur dalam undang- undang. Hak tersebut merupakan kewajiban bagi Kemenkumham untuk menjalankannya. m purwadi
Sumber: Koran Sindo, 16 September 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan