Putusan MK tentang Kewenangan Badan Anggaran DPR-RI
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN-fungsi anggaran) yang disahkan melalui sebuah Undang-Undang (fungsi legislasi) membuka ruang bagi DPR memainkan politik transaksi kepentingan di luar kepentingan rakyat.
Pembentukan Badan Anggaran (Banggar) DPR telah menciptakan kesempatan bagi partai politik untuk mengirimkan utusannya mencari dana bagi brangkas partai. Apalagi dikuatkan pula dengan kewenangan untuk menentukan hingga "satuan 3" yang menyebabkan anggota DPR dapat menentukan dari hulu hingga hilir proyek negara.
Kewenangan itu dapat disimak dalam ketentuan Pasal 157 ayat (1) dan Pasal 159 ayat (5) huruf c UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) serta Pasal 15 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Pencurian uang rakyat melalui ketentuan Undang-Undang (kami menyebutnya sebagai pencurian legal atau mencuri atas nama Undang-Undang) itu semakin dikuatkan pula dengan memberikan ruang kepada DPR untuk membahas proyek-proyek baru melalui pembahasan APBN Perubahan (APBN-P). Penataan kembali anggaran negara melalui APBN-P tentu membuka ruang baru bagi DPR dan partai politik penyokongnya untuk mendapatkan aliran dana baru (fresh money) bagi partai.
Padahal kewenangan konstitusionalnya untuk DPR melalui Undang-Undang memperjuangkan anggaran itu jauh berbasis dari misi "semangat kerakyatan". Bahkan pasal-pasal dalam Undang-Undang tersebut bertentangan dengan semangat yang dikehendaki oleh Pasal 23 ayat (1) UUD 1945. Untuk itu agar proses penganggaran keuangan negara dapat berlandaskan semangat kerakyatan daripada kepartaian, maka dilakukan pengujian Undang-Undang (judicial review) UU MD3 dan UU Keuangan Negara.