Terkait Rekening Pejabat, KIP Bisa Gugat Polri
Jika Tolak Beber Rekening Pejabat
Sikap Mabes Polri yang tertutup soal informasi rekening bisa digugat masyarakat melalui Komisi Informasi Pusat (KIP). Lembaga resmi negara yang bertanggung jawab langsung kepada presiden itu menilai, rekening yang sudah dikategorikan wajar sah-sah saja dibeberkan.
''Memang, soal rekening seseorang masuk dalam informasi yang dikecualikan. Namun, berdasar pasal 18 ayat 2 huruf b (UU Kebebasan Informasi Publik), itu bisa saja dibuka (informasinya),'' ujar Ketua Komisi Informasi Pusat Ahmad Alamsyah Saragih kepada Jawa Pos di Jakarta kemarin (17/7).
KIP dibentuk berdasar UU No 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan Informasi Publik. Dengan UU tersebut, Polri berlindung menggunakan pasal 17 huruf h. Yakni, informasi berkaitan dengan rekening dan aset pribadi seseorang termasuk informasi yang dikecualikan.
Namun, menurut Alamsyah, berdasar pasal 18, informasi itu bisa dibuka dengan persyaratan tertentu. Pasal 18 berbunyi, tidak termasuk informasi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 huruf g dan huruf h, antara lain, bila pihak yang rahasianya diungkap memberikan persetujuan tertulis dan/atau pengungkapan berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan-jabatan publik.
''Sekarang ajukan saja permohonan ke Polri. Kalau mereka menolak, bisa mengajukan sengketa gugatan ke KIP,'' tegas Alamsyah. Nanti, KIP melakukan proses ajudikasi nonlitigasi. Yakni, sidang antara dua pihak.
Komisioner KIP Dono Prasetyo menambahkan, jika badan publik yang menolak memberikan informasi adalah institusi Polri, KIP akan memanggil pejabat yang berwenang memberikan informasi. Dalam hali ini Divisi Humas Mabes Polri.
''Kami akan melakukan prosedur penyelesaian sengketa sebagaimana yang diatur pasal 42-26 UU No 14 Tahun 2008,'' katanya. Dalam UU itu, diatur bahwa KIP berhak memeriksa dokumen yang disengketakan. Jadi, dalam kasus rekening, KIP bisa mengecek dokumen rekening dan hasil penyelidikan tersebut secara tertutup.
Setelah itu, komisioner KIP akan meminta badan publik membuktikan. ''Mereka (polisi) harus menyampaikan alasan-alasannya. Lalu, kami akan menguji alasan itu berdasar pertimbangan UU KIP,'' jelasnya.
Jika ternyata alasan Polri tidak bisa diterima, KIP akan memberikan putusan agar informasi rekening atau hasil penyelidikan rekening itu dibuka untuk pemohon. ''Termohon (polisi) yang berkeberatan masih bisa mengajukan keberatan ke pengadilan tata usaha negara sampai proses kasasi di Mahkamah Agung,'' ungkapnya.
Alumnus Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga itu menjelaskan, penentuan apakah informasi bisa dibuka atau tidak juga mempertimbangkan asas manfaat. ''Misalnya, kalau rekening atau hasil penyelidikan rekening itu dibuka untuk umum, apakah ada manfaatnya? Misalnya, faktor transparansi,'' tuturnya.
Apakah KIP berani memeriksa dokumen Polri? Dono menjawab tegas. ''Tentu saja berani. Mengapa tidak? Kami dibentuk dengan undang-undang dan bertanggung jawab kepada presiden serta DPR,'' tegasnya.
Setelah jumpa pers Jumat lalu, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Edward Aritonang memang menegaskan, jika ada masyarakat yang tidak puas atas penjelasan rekening sejumlah perwira tinggi Polri yang diduga berjumlah besar, mereka bisa mendatangi PPATK dan Komisi Informasi Publik (KIP). ''Kalau masyarakat ingin buka, kalau itu pejabat publik, harus ke Komisi Informasi Publik,'' ujarnya.
Menurut Ketua KIP Alamsyah, untuk menentukan tafsir pasal per pasal dalam UU No 14 Tahun 2008, memang cukup rumit. ''Karena itu, kami dibentuk secara khusus untuk menjalankan tugas tersebut. Jadi, kalau ada masyarakat yang ingin mengajukan keberatan karena informasi rekening tidak dibuka Polri, silakan saja. Kami tunggu,'' ujar alumnus Universitas Padjadjaran Bandung tersebut.
Dalam penjelasannya Jumat lalu, Edward menyebutkan, di antara 23 rekening anggota Polri yang dianalisis PPATK, ada 17 rekening yang sudah dinyatakan wajar. Tidak disebutkan siapa saja yang dinilai wajar itu. Juga, tidak dirinci apakah sejumlah jenderal yang dikabarkan mempunyai rekening gendut termasuk dalam 17 rekening wajar itu.
Memang, Edward secara umum memberikan beberapa klarifikasi, namun tidak menyebut nama sama sekali. Dia hanya memberikan gambaran umum beberapa transaksi yang awalnya diduga mencurigakan, tapi belakangan dinilai wajar.
Beberapa jenderal yang diduga memiliki transaksi mencurigakan dalam rekeningnya, antara lain, Irjen MS yang memindahkan rekening senilai Rp 2 miliar secara tiba-tiba ke nama lain, lalu ditarik ke depositonya.
Pada penjelasan umumnya yang tidak merujuk ke salah satu nama, Edward menyebutkan, setelah dicek, sebuah transaksi pemindahan rekening ke valas (bentuk dolar) merupakan sesuatu yang wajar.
Jenderal lain, Irjen SYW, dilaporkan mentransfer uang kepada seorang direktur sebuah perusahaan senilai lebih dari Rp 10 miliar. Transfer tersebut berbentuk mata uang USD dan rupiah.
Pada penjelasan umumnya yang tidak merujuk nama, Edward juga menyatakan bahwa memang ada pejabat tertentu yang mengirimkan uang, namun untuk kepentingan dinas dan dengan dana dinas. ''Setelah dicek, ternyata memang untuk keperluan dinas. Kuitansinya ada semua,'' ungkap Edward.
Ada juga Irjen BG yang melakukan transaksi dalam jumlah miliaran rupiah. Tanpa menyebut nama, Edward menjelaskan dalam klarifikasi kepada orang per orang bahwa memang ditemukan bisnis keluarga. ''Ada yang punya angkot, ada yang punya perkebunan,'' katanya.
Lalu, ada pula Irjen BH yang dilaporkan membeli polis asuransi senilai lebih dari Rp 1 miliar. Saat mengumumkan, Edward juga sempat menyinggung adanya pembayaran premi asuransi yang dikategorikan dalam 17 rekening yang wajar. Namun, tidak jelas apakah yang dimaksud Edward adalah premi milik Irjen BH atau bukan.
Di tempat terpisah, pengajar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Kombes (pur) Dr Bambang Widodo Umar menilai, investigasi internal polisi sangat mengecewakan publik. ''Ibaratnya jeruk kok makan jeruk. Tidak bisa transparan. Jadi, sekarang harapan tinggal pada KPK,'' tuturnya.
Alumnus Akpol 1971 itu memang pernah melapor bersama sejumlah aktivis kepada KPK. Tujuannya, KPK mau proaktif menyelidiki transaksi-transaksi mencurigakan milik para perwira tinggi Polri itu. ''Jika KPK tidak bisa, perlu dipikirkan untuk memperkuat PPATK,'' tegasnya.
Selama ini, PPATK tak punya kewenangan untuk menyelidiki sebuah dugaan transaksi mencurigakan. ''Kalau hanya mengandalkan polisi, saya kok pesimistis akan terbuka,'' ujar mantan reserse itu. (rdl/c5/iro)
Sumber: Jawa Pos, 18 Juli 2010